Saya mendapat kesempatan untuk mengunjungi anak-anak di Pontianak yang viral di media sosial. Saya juga bertemu dengan orang tua anak, para penegak hukum , dan bahkan pak Walikota Pontianak. Pak Deputi Perlindungan Anak, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak juga. Dan banyak lagi termasuk tetangga, handai taulan dari kedua belah pihak.
Saya coba melihat dan mendengar dan menyimak cerita ini langsung dari kedua belah, termasuk pak dokter dan orang-orang dekat yang mendampingi anak. Saya tidak percaya dengan media sosial yang selama ini telah merusak tatanan kehidupan anak anak ini dan bahkan tatanan nilai dan norma anak.
Kesimpulan saya adalah tidak ada yang patut dipersalahkan dalam kasus ini. Media sosial telah membuat persoalan kanak kanak menjadi konsumsi yg berlebihan. Konflik yg dipicu oleh persoalan interaksi sosial “menyimpang” yang dilakukan anak-anak kita karena overdosis dalam penggunaan medsos dan digital platform. Tidak ada batasan yang jelas dalam penggunaan medsos dan digital platform oleh anak anak kita. Orang tua melepaskan tanggung jawabnya atas “smartphone” yang digunakan anak-anaknya. Dampaknya luar biasa, anak bebas sebebasnya, bahkan menabrak moral dan etika.
Jadi kontribusi terbesar atas peristiwa di Pontianak adalah melampaui batasnya penggunaan medsos/digital platform, tidak ada parenting control, batas-batas etika dan norma yang pudar, tidak adanya kebijakan perlindungan anak di internet serta penghakiman publik atas perilaku anak anak ini. Ditambah dengan respon para public figure yang menyalahkan anak yang diduga melakukan perbuatan tersebut. Kekacauan berpikir tentang peindungan hak hak anak lalu digoreng “media massa” sehingga kasus ini merugikan kepentingan anak dari kedua belah pihak.
Kerugian besar yang dialami anak anak adalah stigma berkepanjangan, terganggu jam sekolah dan jam belajarnya, ancaman, caci-maki, media sosial mereka tersebar dan disebarluaskan tanpa filter. Lebih kacaunya lagi, mereka harus mendapat pertanyaan yang sama berulang-ulang dari orang-orang aneh di negeri ini.
Saya berpandangan mereka harus didamaikan, dirukunkan kembali, ini bukan urusan tokoh publik, ini urusan anak dan masa depannya. Penegak hukum tidak boleh berpihak tetapi harus berada di tengah, Walikota kalau perlu menjadi mediator untuk mendamaikan konflik ini. Kita punya dasar hukum yang kuat sebagai pijakan untuk mencegah masalah ini dibawa ke pengadilan dan itu sudah saya sampaikan dalam pertemuan di Pontianak.
Doa saya, jangan jadikan anak-anak kita untuk kepentingan diri sendiri, tetapi belajarlah memahami apa yang terbaik untuk masa depan mereka, jangan biarkan konflik ini larut dan carut-marut, namun damaikanlah mereka. Jangan hiraukan komentar orang-orang di medsos, karena sebagian komentar itu adalah sampah yang tidak berguna.
Saya harus segera minum kopi Pontianak, untuk membuat pagi ini lebih cerah dan indah.
Penulis: Ahmad Sofian, Koordinator Nasional ECPAT Indonesia