Jakarta, 11 Juni 2021 - Dalam upaya pencegahan eksploitasi dan kekerasan seksual anak, ECPAT Indonesia bekerja sama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak melakukan assessment di 9 wilayah destinasi wisata pada rentang 2015 – 2017. Hasil assessment menunjukkan adanya prakter eksploitasi dan kekerasan seksual pada anak yang dilakukan oleh wisatawan. Pada tahun 2018, ECPAT dan KemenPPPA memfokuskan upaya pencegahan dimulai dari level desa dengan cara membuat Panduan Wisata Pedesaan Ramah Anak Bebas dari Eksploitasi.
Untuk memperkuat upaya pencegahan di level desa, ECPAT Indonesia melakukan audiensi dengan Direktorat Pembangunan Pembangunan Sarana dan Prasarana Desa, Kementerian Desa, Pembagunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT). Audiensi ini bertujuan untuk mensinergikan program yang telah dilakukan oleh ECPAT Indonesia dan KemenPPPA, yaitu Wisata Pedesaan Ramah Anak Bebas dari Eksploitasi dengan Program Desa Wisata Kemendesa PDTT.
Audiensi dihadiri oleh perwakilan Direktorat Pembangunan Sarana dan Prasarana Desa, Ibu Sarlita, Asiten Deputi Perlindungan Khusus Anak, Ibu Ciput Purwanti, dan ECPAT Indonesia oleh Andy Ardian, Umi Farida dan Abdurrachman Wisnu Mahardi.
Paparan ECPAT Indonesia
ECPAT Indonesia ingin membangun kemitraan dengan Kemendesa PDTT melalu integrasi Program Wisata Pedesaan Ramah Anak Bebas dari Eksploitasi yang diinisiasi oleh ECPAT dan KemenPPPA dengan Program Desa Wisata Kemendesa PDTT. Latar belakang upaya ini dikarenakan adanya praktik eksploitasi dan kekerasan seksual yang dilakukan oleh wisatawan saat melakukan perjalanan wisata. Oleh karena itu, melalui sinergi program, desa wisata merupakan unsur penting di mana bersentuhan langsung dengan masyarakat dan wisatawan dapat melakukan upaya pencegahan
Paparan KemenPPPA – Ibu Ciput Purwanti
Terdapat potensi sinergi program antara KemenPPPA, Kemendesa PDTT, dan ECPAT Indonesia, terutama dalam hal perlindungan khusus bagi anak dan eksploitasi seksual dan pemberdayaan dan perlindungan perempuan di desa wisata, seperti:
- Pemberdayaan perempuan melalui peningkatan kapasitas.
- Pemenuhan hak dan perlindungan anak oleh pemerintah desa dalam menghadapi era digital; peningkatan kapasitas orang tua dan anak tentang litarasi digital.
- Membuat komitmen bersama seluruh unsur di desa untuk memahami dan berpartisipasi dalam perlindungan anak.
- Sarana dan Prasarana Desa bisa membuat dan memastikan kebijakan perlindungan anak pada desa yang didampingi, termasuk monitoring aspek atraksi agar tidak terdapat situasi pekerja anak dan eksploitasi.
- Capacity building: mengawal proses keberlanjutan di tingkat desa.
Paparan Kemendesa PDTT – Ibu Sarlita
- Kemendesa memiliki fokus pada desa atau hanya melakukan intervensi pada objek wisata yang dikelola oleh desa melalui Badan Usaha Milik Desa (Bumdes).
- Direktorat Sarana dan Prasarana Desa berfokus pada 3A, yaitu akses, atraksi, dan amenitas. Kelompok perempuan dan anak lebih banyak terlibat pada aspek atraksi.
- Desa bisa melakukan membuat kegiatan positif sebagai salah satu upaya mencegah kekerasan dan eksploitasi pada aspek atraksi di mana banyak keterlibatan kelompok perempuan dan anak.
- Melalui Permendes PDTT Nomor 13 Tahun 2020 Tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2021, pemerintah pusat tidak bisa intervensi keputusan desa mengenai RPJMDes. Pemerintah pusat hanya mendampingi desa dalam menyusun anggaran, pemberdayaan ekonomi, dan saat ini sedang melakukan pengembangan dewa wisata melalui partisipasi masyarkat.
- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa memberikan hak otonomi pada desa untuk merencanakan, melaksanakan, dan mengawasi. Kemendesa hanya melakukan arahan tentang prioritas penggunaan anggaran. Kemendesa tidak dapat memaksakan penggunaan anggaran dan memberikan kebebasan menggunakan anggaran.
- Namun, menurut Ibu Sarlita, masih jarang sekali anggaran dialokasikan untuk perlindungan perempuan dan anak. Hal ini dikarenakan belum adanya kesadadaran masyarakat tentang perlindungan perempuan dan anak.
Kesimpulan
Dalam pertemuan audiensi antara ECPAT Indonesia, Kemendesa PDTT, dan KemenPPPA, dihasilkan sejumlah kesimpulan sebagai berikut:
- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa memberikan hak otonomi pada desa untuk merencanakan, melaksanakan, dan mengawasi Dalam perencanaan anggaran dana desa.
- Namun, masih sedikit desa yang mengalokasikan anggaran untuk perlindungan perempuan dan anak. Hal ini dikarenakan belum adanya kesadadaran masyarakat tentang perlindungan perempuan dan anak.
- Oleh karena itu, strategi bottom-up akan dilakukan agar terdapat upaya rencana alokasi anggaran perlindungan perempuan dan anak di desa. Salah satu kegiatan awal yang akan dilakukan, yaitu peningkatan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pemberdayaan dan perlindungan perempan dan anak di desa.
- Direktorat Pembangunan Sarana dan Prasarana Desa bersedia untuk terlibat dan berpartisipasi dalam Program Wisata Pedesaan Ramah Anak Bebas Eksploitasi (pilot project di beberapa desa awal).
- ECPAT Indonesia berpartisipasi untuk melakukan kegiatan yang bersifat soft skill, seperti peningkatan kapasitas pendamping desa
Penulis: Abdurrachman Wisnu Mahardi