Dalam pendampingan penanganan kasus eksploitasi seksual anak, diperlukan prosedur-prosedur yang sesuai untuk membantu serta memberikan kenyamanan kepada korban maupun pihak-pihak yang terlibat. Melihat kondisi penanganan korban kasus eksploitasi seksual anak yang banyak belum berakhir dengan penegakan hukum seadil-adilnya, Down to Zero membuat pelatihan mengenai Capacity Development: Investigasi dalam Identifikasi Korban Eksploitasi di Lombok dan Jakarta.
Dalam kegaitan tersebut, Down to Zero mengadakan pelatihan bersama dengan Bandungwangi yang merupakan Lembaga Swadaya Masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap permasalahan kesehatan reproduksi di kalangan pekerja seks perempuan, termasuk HIV/AIDS. Kegiatan tersebut dibagi menjadi empat sesi. Dalam sesi ke empat, atau sesi terakhir, staff Bandungwangi diberikan pelatihan mengenai bagaimana hak-hak perlindungan bagi pendamping yang melakukan investigasi, penanganan kasus dan rujukan antar lembaga layanan untuk penanganan kasus, juga diberikan contoh form kasus, surat tugas, lembar rujukan, dan lembar hasil investigasi.
Selain pembekalan pelatihan tersebut, Bandungwangi juga diminta untuk praktik turun lapangan. Dalam melakukan praktik lapangan, peserta dibagi menjadi dua kelompok dan masing-masing kelompok ditugaskan untuk melakukan investigasi di tempat yang berbeda. ECPAT Indonesia didampingi oleh Bandungwangi melakukan investigasi di sebuah tempat padat penduduk yang berada di dekat rel kereta api. Meskipun terlihat seperti pemukiman tempat tinggal biasa, terlihat fenomena yang jauh berbeda apabila melihat lebih dekat.
Praktik prostitusi sebagai bentuk eksploitasi seksual menjadi bagian dari ‘keseharian’ masyarakat. Mirisnya, tak jarang anak menjadi korban dalam praktik tersebut yang mana dapat berasal dari berbagai wilayah, baik Jabodetabek maupun di luar Jabodetabek. Setiap daerah memiliki latar belakang berbeda sebagai penyebab anak menjadi korban. Khususnya di Jakarta, eksploitasi seksual terhadap anak dapat terjadi karena faktor lingkungan dan gaya hidup.
Berdasarkan informasi yang didapat dari hasil investigasi, ditemukan bahwa praktik prostitusi tidak hanya terjadi pada malam hari, tetapi juga di siang hari. Di tempat tersebut juga menyediakan bilik sebagai kamar yang dihargai Rp 15.000 sampai Rp 50.000. Selain kamar, ada juga tempat hiburan seperti karaoke dan warung-warung kecil atau yang biasa disebut sebagai cafe. Sedangkan para pekerja seks di sana umumnya dihargai sekitar Rp 70.000 sampai dengan Rp 200.000,-. Menariknya, tenyata pelaku atau pemakai jasa prostitusi tersebut terdiri dari berbagai kalangan seperti tukang parkir, tukang ojek, supir angkutan umum, warga sekitar, atau bahkan aparat penegak hukum.
Dari hasil investigasi yang telah dilakukan, terlihat bahwa eksploitasi seksual merupakan situasi yang kompleks. Terdapat berbagai faktor yang melatarbelakangi korban hingga terlibat dalam eksploitasi seksual, salah satunya dan yang paling banyak terjadi adalah karena faktor ekonomi. Dalam menjadi pendamping korban diharapkan untuk mengerti bagaimana kondisi di lapangan dan alasan para PSK terlibat dalam kegiatan eksploitasi seksual tersebut. Sehingga nantinya dalam proses pendampingan korban, para pendamping lebih mudah untuk mengerti dan mendapatkan gambaran mengenai kondisi korban.
Ditulis oleh : Rosti Mei Juhanna
Disupervisi oleh : Safira Ryanatami