ECPAT Indonesia bersama Asosiasi Analis Transaksi Keuangan Indonesia (AATKI) mengadakan Focus Group Discussion (FGD) di Kantor PPATK pada 7 Mei 2025, sebagai bagian dari upaya penyusunan modul pelatihan bertajuk “Identifikasi dan Respons Transaksi Mencurigakan: Memerangi Eksploitasi Seksual Anak dengan Melibatkan Sektor Keuangan.” Kegiatan ini menjadi langkah awal kolaboratif untuk merumuskan strategi pencegahan penyalahgunaan layanan keuangan, termasuk dompet digital dan e-wallet, yang kerap digunakan pelaku untuk membiayai tindakan eksploitasi seksual terhadap anak secara daring.
FGD ini dilatarbelakangi oleh maraknya penggunaan produk dan layanan jasa keuangan oleh pelaku kejahatan seksual, termasuk untuk membeli konten eksploitasi atau memfasilitasi perdagangan anak. Data dari PPATK mencatat bahwa nilai transaksi yang terkait dengan pornografi anak dan perdagangan orang mencapai Rp114 miliar pada tahun 2022. Sementara itu, survei ECPAT Indonesia menunjukkan bahwa respons penyedia jasa keuangan (PJK) masih beragam dan belum terstandarisasi, mulai dari tidak peduli hingga melaporkan ke pihak berwenang. Hal ini mendorong perlunya peningkatan kapasitas dan pengetahuan di sektor keuangan untuk lebih tanggap dalam mengenali pola transaksi mencurigakan.
Dalam sesi diskusi, peserta yang terdiri dari tim penyusun modul dari ECPAT dan AATKI bersama-sama menyusun dan memfinalisasi outline serta menyepakati alur penyusunan modul yang akan digunakan dalam pelatihan mendatang. Modul ini dirancang untuk dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak, seperti PJK, aparat penegak hukum, dan organisasi masyarakat sipil yang terlibat dalam isu perlindungan anak dan kejahatan siber. Selain konten materi, FGD juga menetapkan timeline penyusunan dan implementasi pelatihan agar proses berjalan terarah dan tepat waktu.
Diharapkan, hasil dari FGD ini dapat menjadi fondasi penting dalam pengembangan panduan teknis yang akan membantu para aktor di sektor keuangan mengenali serta merespons indikasi transaksi yang berhubungan dengan eksploitasi seksual anak. Dengan adanya modul yang terstruktur dan disusun secara partisipatif, ECPAT Indonesia mendorong lahirnya sistem perlindungan anak yang lebih kuat, berbasis data, dan menjawab tantangan kejahatan berbasis teknologi yang kian kompleks.