PERSFEKTIF BARU, Edisi 859 | 07 Sep 2012
Salam Perspektif Baru,
Pada 26 Juni 2012 DPR mengesahkan Undang-Undang (UU) tentang Ratifikasi Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Anak mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak. Ini merupakan langkah penting bagi Indonesia dalam pemberantasan perdagangan anak untuk prostitusi. Kita akan membicarakan hal tersebut dengan Ahmad Sofian, Koordinator ECPAT Indonesia (End Child Prostitution, Child Pornography, & Trafficking of Children for Sexual Purpose).
Menurut Sofian, beberapa temuan mengatakan ada ratusan ribu anak-anak kita yang menjadi korban eksploitasi seksual tiap tahunnya. Eksploitasi anak untuk prostitusi sangat membahayakan masa depan anak-anak yang sudah menjadi korban. Dalam hal ini, perspektif orang dewasa seharusnya dibalik bahwa anak-anak yang menjadi obyek karena permintaan orang dewasa dan bukan karena kemauan mereka. Itu karena sebenarnya orang dewasa yang lebih senang menyaksikan pornografi anak-anak dan hubungan seks dengan anak-anak. Anak-anak tidak akan melakoni dirinya menjadi objek seks jika tidak ada orang dewasa yang mempunyai keinginan untuk menikmati tubuh mereka. Hal itu karena atas dasar iming-iming uang, atau nilai-nilai konsumtif yang ditawarkan oleh orang dewasa.
Sofian mengatakan setelah adanya UU tentang Ratifikasi Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Anak mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak maka perlu ada berbagai langkah lanjutan yang perlu dilakukan oleh pemerintah dalam hal perbaikan hukum sehingga upaya pemberantasan eksploitasi seksual pada anak tersebut bisa lebih efektif. Jadi hukum yang ada di Indonesia agar segera memasukan komponen tentang eksploitasi seks, dan juga pelakunya dikiriminalisasikan.
narasumber Ahmad Sofian.
Seberapa besar bahaya kegiatan prostitusi, pornografi, trafficking terhadap anak-anak di Indonesia?
Saya sudah bekerja dengan mengamati dan terjun langsung dalam membantu anak-anak yang menjadi korban dalam praktek eksploitasi seksual. Saya menduga setiap hari ada anak-anak menjadi korban praktek eksploitasi seksual, apakah itu dalam bentuk anak-anak dijadikan pelacuran, objek pornografi, atau dipaksa untuk menikah dengan orang yang telah berusia lanjut demi keuntungan finansial bagi keluarganya. Kondisinya sangat merisaukan bagi masa depan mereka. Anak yang masih kecil dan memerlukan masa depan sudah menjadi korban tindak pidana atau kejahatan seksual. Tentunya ini menjadi mimpi buruk bagi masa depan mereka dan mereka sudah tidak lagi mempunyai harapan.
Saya menduga kegiatan perdagangan anak untuk prostitusi dan kegiatan lain yang sedang ditangani kawan-kawan seperti tolak pornografi adalah fenomena gunung es. Ada banyak sisi yang tidak terungkap. Darimana kita dapat melihat bahwa tingkat bahayanya sudah tinggi?
Kita melihatnya dari kasus yang muncul. Kasus itu bisa dari laporan yang diajukan ke kepolisian, laporan dari teman-teman media, pengalaman pendampingan teman-teman LSM yang bekerja di lapangan, atau celoteh anak itu sendiri kepada gurunya. Jadi, sekolah, media, polisi dan LSM adalah sumber informasi yang luar biasa untuk mengetahui seberapa buruk keadaan anak-anak yang masuk ke dalam praktek kejahatan seksual. Memang agak sulit mendapatkan data statistik yang pasti, tapi beberapa temuan mengatakan ada ratusan ribu anak-anak kita yang menjadi korban eksploitasi seksual tiap tahunnya.
Dari berbagai institusi yang bergerak dalam perlindungan anak ada banyak sekali aspek atau isu yang ditangani. Dari berbagai pilihan yang ada tersebut, mengapa ECPAT mengkhususkan diri untuk tiga hal yaitu prostitusi anak, pornografi anak, dan perdagangan anak?
ECPAT mengkhususkan diri pada isu atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual anak seperti prostitusi anak, pornografi anak, dan perdagangan anak karena kondisinya sangat buruk. Sementara lembaga-lembaga dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang ada tidak mengambil porsi pada bidang khusus. Lembaga-lembaga itu bekerja pada isu perlindungan anak secara umum. Jadi mereka tidak mempunyai keahlian khusus misalnya mengkonseling anak-anak yang menjadi korban eksploitasi seksual.
Anak yang menjadi korban eksploitasi seksual dengan anak yang menjadi korban kekerasan berbeda intervensi untuk menyembuhkannya, berbeda penanganan hukumnya, dan berbeda proses mengembalikan anak tersebut kepada keluarga dan sekolahnya. Mereka sudah menjadi obyek seks dan sudah menjadi obyek komersial.
Bisnis seks pada anak berbeda dengan anak-anak yang menjadi korban kejahatan lainnya karena mereka sudah disuguhkan dengan minuman keras, sudah disuguhkan dengan obat-obat terlarang, sudah rusak organ seksual mereka, sudah rusak pikiran mereka, dan cenderung mereka tidak mau mengadukan kasusnya kepada keluarga, guru, atau kerabatnya. Itu karena, dalam tanda kutip, mereka sudak menikmati. Menikmati untuk saat ini tapi bagaimana untuk masa depannya? Hal-hal ini yang tidak banyak dilakukan oleh lembaga-lembaga yang ada di Indonesia, Karena itu ECPAT mengambil bidang yang spesifik yaitu melindungi anak-anak yang menjadi korban eksploitasi seksual.
Tadi dikatakan penanganan terhadap korban sungguh berbeda karena mereka mengalami trauma dan membahayakan masa depan mereka. Apakah penanganan kasus-kasus seperti ini sudah memadai di Indonesia?
Belum. Hal ini bahkan termasuk yang mengatasnamakan perlindungan anak. Sejauh ini penanganannya baru dibicarakan pada tingkat permukaan, belum ada satu institusi yang mempunyai perhatian pada bidang anak-anak yang menjadi korban eksploitasi anak. Eksploitasi anak-anak sangat berbeda dengan prostitusi dan pornografi anak. Orang awan sering melihat bahwa anak-anak yang ada di dua bidang tersebut adalah pilihan mereka. Perspektif orang dewasa seharusnya dibalik bahwa anak-anak yang di dunia prostitusi dan menjadi obyek pornografi karena permintaan orang dewasa dan bukan karena kemauan mereka. Itu karena sebenarnya orang dewasa yang lebih senang menyaksikan pornografi anak-anak dan hubungan seks dengan anak-anak. Orang dewasa yang memintanya. Anak-anak tidak akan melakoni dirinya menjadi objek seks jika tidak ada orang dewasa yang mempunyai keinginan untuk membeli atau menikmati tubuh mereka. Hal itu karena atas dasar iming-iming uang, atau nilai-nilai konsumtif yang ditawarkan oleh orang dewasa.
Berapa kategori usia untuk definisi anak-anak?
Secara internasional dan Indonesia sudah menganutnya, kategori anak-anak ialah setiap orang, baik perempuan atau laki-laki, yang belum berusia 18. Kami menemukan mereka yang sudah masuk ke dalam bisnis seks paling muda berusia 8 tahun, yaitu sudah menjadi objek seks. Orang-orang yang mempunyai posisi keuangan yang tinggi cenderung membeli anak-anak yang masih berseragam sekolah, atau mencari pihak ketiga untuk memudahkan mendapatkannya. Anak-anak inilah yang kemudian dijebak masuk ke dalam praktek eksploitasi seksual. Tanpa sadar mereka melakukan itu secara berulang-ulang dan berakibat mengalami eksploitasi berkelanjutan.
Selama ini setiap ECPAT mendapatkan kasus seperti tadi, apakah korban memang melaporkan sendiri?
Pendekatan pertama pencegahan, yaitu melakukan kampanye agar orang dewasa tidak membeli seks anak-anak, dan anak-anak tidak terjebak, serta memberikan edukasi kepada keluarga. Selama ini anak-anak tidak mau berkomunikasi tentang masalah seperti itu, sehingga kami memutuskan untuk melakukan edukasi dan mengindentifikasi anak-anak untuk upaya pencegahan dan proteksi. Proteksi dalam arti kami juga melakukan upaya hukum ketika mendapatkan kasus. Kami merujuk kasus, melaporkan kasus itu kepada penegak hukum, dan memberikan bantuan hukum, serta tidak perlu dibayar. Selanjutnya kami juga melakukan konseling, perawatan medis, dan mengobati anak-anak secara psikologis.
Apakah ECPAT hanya ada di Jakarta atau di seluruh indonesia?
Kami ada di 11 provinsi. Kami juga berjejaring. Jumlah pihak yang berkerja sama dengan kami sebagai anggota ada 24 lembaga yang mengkhususkan diri pada bidang eksploitasi anak.
Kemana untuk melapor jika ada kasus di luar 11 provinsi yang dilingkupi ECPAT?
Kalau di luar 11 provinsi, saya tidak bisa memberikan garansi untuk hal tersebut ditangani. Paling tidak melaporkannya ke unit kepolisian, walaupun sebenarnya mereka lebih pada penanganan hukum saja. Sedangkan kami tidak hanya pada penanganan hukum saja tapi juga teknik konseling. Jika ada teman-teman LSM mempunyai hasrat kepedulian anak, maka bergabunglah ke ECPAT. Nanti kami memberikan keahlian kepada mereka sehingga mempunyai kemampuan untuk bekerja di bidang ini.
Apakah secara umum pemberantasan terhadap kejahatan ini sudah memadai?
Kasus ini sering berada di bawah tanah (under ground) sehingga kita tidak bisa secara mudah mengenali anak-anak yang menjadi korban. Itu karena harus ada investigasi tentang masalah ini.
Anda mengatakan di Indonesia masih sangat minim penegakan hukum terhadap eksploitasi seksual anak. Saya pikir tiga tahun lalu ada Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Ratifikasi Hak-hak Anak. Hal tersebut kebetulan termasuk salah satu upaya yang dilakukan oleh ECPAT bekerja sama dengan beberapa pihak. Apakah bisa dijelaskan mengenai hal tersebut?
Tiga tahun lalu kami bekerja sama dengan The Body Shop (TBS), perusahaan kosmetik yang sangat care tentang masalah-masalah lingkungan hidup, untuk melakukan perubahan dan kampanye menghentikan praktek seksual terhadap anak dan perdagangan anak. Kami melakukan beberapa agenda kampanye kepada pemerintah, komunitas, dan kelompok-kelompok masyarakat lainnya.
Di mana kegiatan tersebut dilaksanakan, apakah hanya di Jakarta atau di seluruh wilayah Indonesia?
Di seluruh Indonesia. Kami adalah jaringan nasional yang mempunyai misi untuk menghapuskan praktek eksploitasi anak dan perdagangan seks terhadap anak dan orang muda. Ternyata TBS juga memiliki misi yang sama. Jadi, yang satu dari sektor swasta dan satunya lagi mewakili civil society bertemu untuk membicarakan program tadi. Agenda kita adalah bagaimana melakukan perubahan sistem hukum. Itu karena sampai tiga tahun lalu belum terlihat adanya penghukuman kepada orang-orang yang melakukan kejahatan seksual pada anak. Jadi kami memfokuskan diri pada bagamana pemerintah melakukan ratifikasi.
Sebenarnya negara kita sudah memiliki Undang-Undang (UU) No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan juga UU No.21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Namun kedua UU tersebut tidak memberikan porsi yang tinggi untuk pemberantasan seksual anak. Bahkan kedua UU tidak menginformasikan definisi yang jelas tentang prostitusi anak, penjualan anak, dan eksploitasi anak. Padahal definisi sangat penting bagi penyidik untuk bisa mengkriminalisasi. Tanpa adanya definisi, polisi tidak akan bisa menduga dan menangkap orang yang melakukan kejahatan tadi bila tidak diatur dalam UU.
Kedua UU itu masih ada kekosongan hukum untuk mengkriminalisasi orang-orang yang membeli seks pada anak-anak. UU masih sangat lemah dalam tanggung-jawab negara untuk merehabilitasi anak-anak yang menjadi korban. Sedangkan saat ini sudah ada satu konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang disebut dengan Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Anak mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak. Konvensi tersebut memberikan porsi yang sangat besar untuk mengkriminalisasi siapapun yang menfasilitasi anak-anak untuk dijadikan objek seks atau bisnis seks.
Siapa lagi mitra Anda bekerja sama selain dengan The Body Shop untuk program tersebut?
Kami bekerja sama dengan lembaga-lembaga internasional, masyarakat internasional, dan juga sektor swasta. Kami mendesak agar ratifikasi itu dilakukan. Ratifikasi itu harus dilakukan oleh dua pihak yaitu pemerintah dan parlemen. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP PA), Kementerian Luar Negeri, serta Kementerian Hukum dan HAM. Sementara parlemen adalah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), khususnya Komisi III dan VIII yang bertanggung jawab untuk bekerja sama dengan pemerintah.
Bagaimana setelah adanya kampanye selama tiga tahun?
Setelah kampanye yang dilakukan selama 3 tahun, bukan hanya oleh ECPAT tetapi juga LSM lain di Indonesia yang mempunyai misi sama, pada 26 Juni 2012 dilakukan ratifikasi oleh DPR RI bersama dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Luar Negeri, serta KPP PA. Kami bekerja sama dengan The Body Shop sudah tiga tahun tapi baru membuahkan hasil pada 26 Juni 2012. Jadi kita belum bisa memprediksi apakah kondisi anak-anak jauh lebih baik, tapi yang pasti itu berdampak pada perubahan hukum nasional. Jadi kini hukum yang ada di Indonesia memasukan komponen tentang eksploitasi seks, dan juga dikiriminalisasikan.
Apa harapan Anda pribadi terhadap adanya ratifikasi protokol tambahan tentang perlindungan anak?
Pertama, yang harus dilakukan oleh pemerintah, secara administrasi, agar secepatnya UU itu diberi nomor supaya bisa diaktifkan oleh Sekretariat Negara dan diumumkan kepada publik sehingga menjadi UU secara ansional. Setelah itu pemerintah dan DPR secepatnya melakukan amandemen terhadap UU yang belum memasukkan mengenai ketentuan mengkriminalisasi pelaku eksploitasi anak, terutama UU No.23 tahun 2002. Kedua, seharusnya hal itu dimasukkan ke dalam rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) karena KUHP menjadi panduan bagi semua penegak hukum. Jika tidak masuk dalam KUHP maka UU kita akan menjadi lemah dalam memberantas perdagangan anak dan eksploitasi seks terhadap anak.
Sumber : Kompasiana