Secara garis besar, usaha wisata dan perjalanan merupakan bisnis yang sangat menguntungkan bagi perekonomian Indonesia. Tiap wisatawan asing yang datang ke Indonesia bisa menghabiskan rata-rata sekitar 1.100 dollar AS sampai 1.200 dollar AS disetiap kunjungannya.[1] Hingga saat ini, sektor industri wisata menyumbang sekitar 4% dari total perekonomian Indonesia. Bahkan, Pemerintah Indonesia ingin meningkatkan angka tersebut menjadi dua kali lipat. Oleh karena itu, banyak cara yang dilakukan oleh pemerintah agar jumlah wisatawan terus bertambah. Salah satunya berupa pembebasan visa bagi wisatawan asing di beberapa negara yang ingin berkunjung ke Indonesia.
Di tempat wisata, potensi eksploitasi seksual anak sangat besar mengingat mudahnya para wisatawan untuk berkunjung. Salah satunya adalah para wisatawan asing yang berkunjung ke Indonesia. Banyak dari mereka yang tidak hanya datang untuk berlibur dan melakukan bisnis, akan tetapi juga memiliki motif lain, salah satunya adalah mengeksploitasi anak secara seksual. Para pelaku eksploitasi seksual anak tidak hanya wisatawan asing, namun juga wisatawan lokal. Oleh karena itu semakin banyak wisatawan yang berkunjung, maka akan semakin besar pula potensi untuk terjadinya eksploitasi seksual anak terutama di daerah wisata. Pada tahun 2018, tercatat ada 80 kasus prostitusi anak, 75 eksploitasi pekerja anak, 57 kasus eksploitasi seksual komersial anak, dan 52 kasus trafficking anak.[2] Dari data tersebut, beberapa diantaranya terjadi di daerah wisata.
Pada akhir tahun 2018, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan bahwa Bali menjadi tempat tujuan prostitusi anak.[3] Lalu di awal tahun 2019 terungkap adanya praktik prostitusi yang melibatkan anak di bawah umur di Bali. Dari kasus tersebut terungkap ada lima orang anak yang dieksploitasi secara seksual di Sanur.[4] Usia anak-anak tersebut sekitar 14 sampai 17 tahun. Beragam faktor yang melatarbelakangi eksploitasi seksual anak, salah satunya adalah faktor ekonomi. Selain di Bali, ada sembilan wilayah lain yang juga ditemukan banyak kasus eksploitasi seksual anak yang terjadi di sana. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dan ECPAT Indonesia pada tahun lalu, wilayah-wilayah yang juga terkenal sebagai tujuan eksploitasi seksual anak adalah Yogyakarta, Jawa Barat, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Jakarta Barat serta Pulau Seribu (DKI Jakarta).[5]
Melihat kasus eksploitasi seksual anak di daerah wisata yang semakin marak, ECPAT Indonesia bersama Terre des Hommes dan PLAN, bekerja sama untuk menghapuskan kasus eksploitasi seksual di tempat wisata melalui aliansi Down to Zero. Untuk menghapuskan kasus tersebut, diperlukan upaya-upaya dan juga kerjasama serta bantuan dari banyak pihak. Hingga saat ini aliansi Down to Zero menjalin kerjasama dengan pemerintah dan juga private sector. Pada hari Senin, tanggal 25 Februari 2019, ECPAT Indonesia selaku perwakilan dari Down to Zero mengunjungi Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI). GIPI merupakan organisasi yang dibuat berdasarkan UU Kepariwisataan No. 10 tahun 2009. GIPI memiliki kurang lebih 50 anggota yang terdiri dari berbagai macam usaha wisata dan perjalanan, seperti travel, hotel, dan lain-lain yang bersangkutan dengan pariwisata. Selain itu GIPI juga memiliki kurang lebih 20 DPD di seluruh Indonesia. Melihat adanya praktik-praktik eksploitasi seksual anak di destinasi wisata, bekerjasama dengan usaha wisata dan perjalanan merupakan hal yang tepat untuk mencegah terjadinya peluang eksploitasi seksual anak di daerah wisata.
Terdapat 3 program Down to Zero yang dibahas dalam pertemuan dengan pihak GIPI. Pertama, program lokakarya untuk membangun panduan yang terdiri dari tiga materi. Salah satu dari materi tersebut adalah pedoman pra-teknis peraturan Kementerian Pariwisata tahun 2010 mengenai pencegahan pariwisata seksual anak di daerah wisata. Dalam program lokakarya ini GIPI diharapkan dapat membantu dalam pembuatan proses guidelines dan juga menjadi peserta lokakarya. Kedua, kampanye Kids Aren’t Souvenir yang bertujuan untuk menyuarakan ke masyarakat luas untuk dapat berpartisipasi dalam mencegah dan menghapus eksploitasi seksual anak. Ketiga, The Code yang merupakan inisiatif yang dibuat oleh ECPAT Internasional yang muncul karena adanya situasi eksploitasi seksual anak di dunia wisata dalam membangun tools dan mendukung usaha-usaha wisata dan perjalanan yang berkomitmen dalam melindungi anak dari eksploitasi seksual.
GIPI melihat eksploitasi seksual anak di daerah wisata merupakan sebuah masalah yang penting bagi dunia pariwisata, dan berkomitmen dalam mencegah eksploitasi seksual di destinasi wisata dengan mengajak ECPAT Indonesia bekerjasama melalui penandatanganan MoU yang akan diselenggarakan di tahun ini. Dukungan tersebut diharapkan menjadi upaya awal dalam menciptakan destinasi wisata yang aman bagi anak, terutama dari situasi eksploitasi seksual anak
Penulis : Rosti Mei Juhana
Editor : Safira Ryanatami
Sumber :
1] Industri Pariwisata Indonesia, diakses dari https://www.indonesia-investments.com/id/bisnis/industri-sektor/pariwisata/item6051?
[2] Detik, “KPAI Catat Ada 80 Kasus Prostitusi Anak Selama 2018”, https://news.detik.com/berita/d-4269356/kpai-catat-ada-80-kasus-prostitusi-anak-selama-2018
[3] IDN Times, “KPAI: Waspada, Bali Jadi Tempat Tujuan Prostitusi Anak”, https://www.idntimes.com/news/indonesia/indianamalia/kpai-waspada-bali-jadi-tempat-tujuan-prostitusi-anak/full
[4] IDN Times, “P2TP2A: Bali Rentan ada Peristiwa Seks Anak”, https://bali.idntimes.com/news/bali/imamrosidin/bali-rentan-pariwisata-seks-anak/full
[5] BBC Indonesia, “Kasus Kejahatan Seksual Anak ditemukan di 10 lokasi Wisata di Indonesia”, https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-42534355