Tahun 2023 telah menjadi tahun yang penuh tantangan dan prestasi bagi ECPAT Indonesia, sebuah lembaga organisasi masyarakat sipil yang berkomitmen menghapuskan segala bentuk eksploitasi seksual anak di Indonesia. Dalam catatan tahunan yang akan dirilis, ECPAT Indonesia berupaya untuk melakukan media briefieng guna menggaungkan isu tersebut. Dalam catatan tahunan yang baru dirilis, ECPAT Indonesia menyoroti sejumlah isu yang menjadi fokus utama selama tahun lalu, seperti maraknya kerentanan anak terpapar pornografi yang berdampak pada adanya trens penggunaan sistem pembayaran elektronik dalam kejahatan ESA. Selain itu, terdapat juga sejumlah upaya untuk meningkatkan perspektif terhadap korban ESA terhadap aparat penegak hukum dan lembaga layanan bagi korban ESA.
Maraknya Penggunaan Sistem Pembayaran Elektronik dalam Kejahatan ESA
ECPAT Indonesia melihat, eksploitasi seksual anak terjadi lintas batas geografis, antar negara, antar pulau, antar daerah provinsi/kabupaten/kota sehingga dalam melancarkan aksinya pelaku membutuhkan sistem pembayaran untuk melakukan transaksi seperti transfer antar bank, electronic money, kripto dll. Sehingga ECPAT Indonesia sejak tahun 2016 berupaya membangun kerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dengan melakukan kerjasama pendidikan dan pelatihan untuk mempertajam analisis keuangan pembayaran transaksi eksploitasi seksual anak seperti perdagangan anak untuk tujuan seksual, pornografi anak, prostitusi anak dll. Tahun 2022 PPATK merelease temuannya yaitu adanya transaksi sebesar Rp 114 M terkait pornografi anak.
Di tahun 2023 ECPAT Indonesia melakukan asesmen lanjutan bekerjasama dengan Bandungwangi, yang menemukan adanya 19 aplikasi yang sering dimanfaatkan untuk menawarkan jasa prostitusi perempuan dan anak perempuan dengan memilih menggunakan financial technologi sebagai alat pembayaran, seperti transfer bank, transfer pulsa, tukar gift/followers di Bigo Live melalui ATM, transfer melalui Western Union dan transfer melalui E-Wallet. Berdasarkan hal itu ECPAT Indonesia memperluas jangkauan wilayah advokasi menjadi lintas sektoral (multipihak) tidak hanya dengan PPPATK namun juga dengan KemenPPPA serta perusahaan teknologi keuangan (financial technology).
Tahun 2023 ini, sebagian besar perusahaan financial technology dan aplikasi perbankan sudah merasa bahwa kebijakan SOP di internal untuk melakukan background check atau monitoring dan pencegahan transaksi keuangan kasus eksploitasi seksual anak menjadi penting, berdasarkan survei pada 179 responden menunjukkan 64,52% menyatakan setuju adanya SOP, namun pemerintah harus mengeluarkan regulasi dan melakukan pengawasan terkait dengan pelaksanaan SOP tersebut.
Kerentanan anak dari paparan pornografi di Internet.
Temuan menarik lainnya dari riset yang dilakukan oleh ECPAT Indonesia, di tahun 2023, yaitu melalui monitoring dan evaluasi program pembentukan Desa ramah Anak terbebas dari pornografi kerjasama dengan KemenPPPA menemukan, bahwa teknologi digital (internet) telah mendekatkan anak-anak pada kerentanan terpapar pornografi, dan adanya gap pengetahuan atau skill orang tua dengan anak dalam menggunakan teknologi internet menyebabkan lemahnya kontrol dan pendampingan orang tua kepada anak ketika berselancar di dunia maya, sehingga anak-anak rentan mendapatkan informasi negatif yang berpengaruh membentuk perilaku anak menjadi pelaku yang membuat, merekam, menyebarkan, dan menjual konten pornografi.
Dalam Baseline Survey Baseline Survey OCSEA (Online Child Sexual Exploitation and Abuse) kerjasama antara ECPAT Indonesia, Kementeriaan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia serta UNICEF 2023 yang melibatkan 512 responden anak menunjukkan bahwa ranah dalam jaringan (daring) atau online menjadi arena bermain anak karena hampir keseluruhan atau 99,4% anak-anak menggunakan internet dengan menghabiskan waktu sekitar 5 jam sehari di rumah, sedangkan sebagian lainnya mengakses internet di sekolah. Alasan anak-anak menikmati online diantaranya karena dunia daring/online memberikan kebahagiaan dengan adanya hiburan/permainan, tersedianya akses ke informasi serta dapat berkomunikasi dengan teman.
Dengan tingginya intensitas anak-anak bermain internet di keseharian mereka, maka akan meningkatkan juga kerentanan mereka terpapar pornografi yang ada di Internet. Dari hasil survei OCSEA ditemukan bahwa hanya sekitar 37,5% anak yang mengetahui cara berintenet aman dan ada 69% anak yang tidak membatasi waktu ketika bermain Internet serta memiliki pengalaman menonton pornografi dan konten-konten yang tidak pantas yang mereka lihat di Internet. Hal ini menjadi hal yang miris karena tingkat paparannya yang cukup tinggi bahkan ada 2 anak yang mengaku mengalami kerentanan secara langsung terkait dengan paparan pornografi.
Peningkatan Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik terhadap anak
Dari hasil laporan yang masuk ke ECPAT Indonesia pada tahun 2023 sebanyak 16 kasus dari yang sebelumnya 29 kasus di tahun 2022, dari jumlah kasus memang mengalami penurunan laporan, namun dari segi kasus kekerasan seksual berbasis elektronik kasusnya cukup meningkat. Kasus-kasus kekerasan seksual berbasis elektronik cukup mendominasi kasus kejahatan seksual pada anak di Indonesia saat ini, dengan semakin berkembangnya teknologi digital belakangan ini modus-modus kejahatannya semakin beragam. Mulai dari Grooming untuk tujuan seksual,Sexting, Sextortion dan Live Streaming kekerasan seksual.
Peningkatan kasus kekerasan seksual berbasis elektronik ini juga terjadi karena rendah pengetahuan literasi digital masyarakat Indonesia saat ini, jadi banyak yang menjadi korban terutama anak-anak. Banyak lembaga-lembaga yang mendampingi korban menerima pengaduan terkait kasus-kasus kekerasan seksual berbasis elektronik ini dan cukup kewalahan dalam mendampinginya karena kekurangan staf pendamping. Komnas Perempuan mencatat kasus kekerasan di ranah siber yang terjadi perempuan mengalami peningkatan yang besar dengan jumlah 869 kasus, yang dimana bukan hanya perempuan dewasa saja yang menjadi korban namun anak perempuan pun yang menjadi korbannya. Untuk kekerasan seksual berbasis elektronik ini korbannya bukan hanya anak perempuan saja, namun korban anak laki-laki pun meningkat.
Perlunya ditingkatkan perspektif terhadap korban eksploitasi seksual anak terhadap aparat penegak hukum dan lembaga penyedia layanan bagi korban ESA
Sorotan lainnya atas situasi eksploitasi seksual anak yaitu masih adanya praktik diskriminasi terhadap anak korban eksploitasi seksual yang dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum (APH) dan juga Lembaga Pemberi Layanan. Diskriminasi ini tergambar jelas pada sikap pembedaan antara penanganan kasus anak korban kekerasan seksual dengan anak korban eksploitasi seksual, dimana terdapat pelabelan negatif pada anak korban eksploitasi seksual dianggap anak nakal (mau sama mau) karena pakaiannya divisualisasikan seperti orang dewasa yang sexy, terbuka, dengan dandanan atau make up yang menggoda lawan jenis. Sedangkan pada kasus anak korban kekerasan seksual lebih mendapatkan empati, karena kekerasan yang dialami dianggap sebagai serangan, paksaan dengan ancaman dan kekerasan. Temuan ini melatarbelakangi program-program peningkatan kapasitas perspektif hak anak dan skill dalam melakukan pendampingan dan penanganan kasus eksploitasi seksual anak agar berbasis pada kebutuhan korban.
Hal ini perlu terus menerus dilakukan ditengah meningkatkan kasus-kasus eksploitasi seksual anak, terutama kasus ESA di ranah daring yang sekarang banyak terjadi di Indonesia, yang dimana banyak pihak yang menganggap bahwa korbannya sendirilah yang setuju mengirimkan konten-konten pribadi kepada pelakunya. Namun dalam konsep perlindungan anak, tentunya hal tersebut tidak mengugurkan bahwa anak tersebut adalah korban dari ketidaktahuannya atas yang mereka perbuat, hal inilah yang perlu diperkuat kepada aparat penegak hukum dan lembaga penyedia layanan bagi korban yang ada di Indonesia, agar pemenuhan hak-hak anak sebagai korban dapat terpenuhi.