JAKARTA, 13 OKTOBER 2016 – Pada akhir-akhir ini banyak pemberitaan mengenai kasus kekerasan baik seksual, fisik dan psikis yang terjadi pada anak-anak. kasus kekerasan terhadap anak perempuan yang baru saja terjadi adalah mengenai adanya kasus Pornografi anak yang baru terjadi di daerah Bekasi, dimana proses hukumnya telah diproses di unit Cyber Crime Polda Metro Jaya. Pada kasus ini ada sekitar seratus lima puluh (150) orang anak perempuan yang telah menjadi korban pornografi online yang telah dilakukan oleh seorang laki-laki yang berinisial AN. Banyak kasus-kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi di media online.
Sementara data dari pemberitaan media untuk kasus ESKA, per september 2016 sebanyak empat ratus sembilan (409) kasus ESKA, baik yang terjadi melalui media online maupun melalui germo atau pun ada yang menjajakan diri secara langsung.
Kekerasan seksual pada anak membawa dampak serius bagi aspek pola pikir, perasaan dan emosi anak yang bersifat langsung maupun tertunda. Untuk membantu anak dapat menjalani proses pemulihan yang mendukung tumbuh kembangnya, maka perlu dipenuhi hak restitusi, rehabilitasi dan pemulihan. Ketiga hak ini belum diakomodir secara komprehensif oleh negara.
Pemrosesan kasus kekerasan seksual anak secara hukum sering kali menemui hambatan baik dalam proses pelaporan kasus, proses penyidikan, dan proses peradilan secara keseluruhan. Negara dianggap belum mengakomidir kepentingan korban untuk mendapat keadilan bagi kasusnya. Sulitnya pemenuhan proses peradilan mulai dari proses yang penuh stigma pada anak, proses hukum yang terlalu lama dan membutuhkan waktu, energi serta materiil yang banyak. Hal-hal ini juga yang mencegah keluarga dan pihak-pihak pendamping terhambat dalam membawa kasus-kasus kekerasan seksual anak ke proses hukum. Di sisi lain belum ada pemenuhan hak pemulihan yang komprehensif baik secara sistem maupun fasilitas fisik. Proses eksekusi pemulihan dan re-integrasi sosial pun masih belum terjadi secara menyeluruh bagi korban anak.
Oleh karena itu, dalam memperingati Hari Anak Perempuan International beberapa perwakilan lembaga ingin menyampaikan beberapa tanggapan dan penjelasan mengenai isu-isu anak yang juga menjadi salah satu focus mereka :
Ibu Magdalena Sitorus (Komisioner Komnas Perempuan)
“Anak banyak dijadikan objek seksual bukan hanya oleh orang ketiga / keempat, melainkan dari keluarganya sendiri”
Pada saat ini masih banyak anak yang bekerja. Padahal sudah ada dalam undang – undang jika tidak dibolehkan untuk mempekerjakan anak dibawah umur. Dari data Komnas Perempuan terdapat 70% anak yang tidak sekolah tetapi telah bekerja dan hampir 30% anak yang sekolah sambil bekerja.
Hampir 60% anak perempuan sekitar usia 15 tahun yang hamil melakukan aborsi. Beberapa faktor diantaranya adalah eksploitasi dan juga belum matang secara mental. Menurut Ibu Magda, bagi masyarakat “sex” itu tabu dan juga tidak menjadikan suatu pengetahuan utama sehingga banyak kejadian-kejadian.
Oleh karena itu menurut Ibu Magda bagi setiap pelindung anak harus mampu menerapkan 4 prinsip hak anak yaitu :
Hak untuk dilindungi dari diskriminasi
Hak atas kepentingan terbaik untuk anak
Hak untuk hidup dan berkembang
Hak untuk didengarkan dan mempengaruhi apa yang terjadi pada anak
Yuyun (Bandung Wangi)
Bandung Wangi merupakan organisasi dimana hampir 98% anggota nya ialah penyintas. Pada saat ini Bandung Wangi fokus melakukan intervensi pada 2 kecamatan di wilayah jakarta timur yaitu kecamatan jatinegara dan kecamatan matraman. Dimana targetnya pada anak 13-18 tahun (terdapat anak yang masih sekolah).
Harapan Bandung Wangi pada hari anak perempuan internasional ini ialah “Bagaimana pemerintah dapat membantu mengeluarkan anak dari prostitusi untuk anak-anak yang sudah ada niat untuk keluar”.
Ibu Yuli (Indonesia Act)
Indonesia Act memiliki 17 orang anggota yang tersebar di 11 propinsi di Indonesia. Hal yang dilakukan “Mendorong hak-hak anak”. Hasil yang telah diperoleh ialah 46 jaringan perlindungan anak. Namun selama ini terdapat kendala dalam faktor budget atau biaya. Upaya yang telah dilakukan ialah dialog dengan penegak hukum.
Rio Hendra (Ecpat Indonesia)
Sejak 2012 hingga 2016 Divisi Layanan Hukum Ecpat Indonesia telah menangani lebih 100 kasus ESKA. Hal yang ditemukan di lapangan :
Aparat penegak hukum lebih fokus ke pelaku dibanding ke korban
Panti rehabilitasi Kemensos memiliki keterbatasan waktu yang hanya maksimal 6 bulan.
Pada momment ini, Ecpat Indonesia berharap “Bagaimana pemerintah mampu menangani korban mulai dari pengaduan hingga pulih”
Dan Ecpat Indonesia juga berharap pemerintah mampu menerapkan “Bill of Rights (10 hak korban)” dalam sistem hukum di Indonesia.
Wisnu (KOMPAK Jakarta)
Selama ini program yang dijalani oleh KOMPAK Jakarta telah menemukan banyak kasus ESKA di Media sosial.
Pada momment ini, KOMPAK Jakarta berharap pada pemerintah jika “Setelah mengesahkan UU tentang Kebiri, berharap negara juga lebih memperhatikan mengenai pencegahan dan rehabilitasi korban”.
Penulis :
Yonathan Garcia ( Mahasiswa Internship Universitas Bina Nusantara Divisi Pelayanan Hukum)
Editor :
Rio Hendra ( Staff Pelayanan Hukum )