Dalam pertemuan yang ke tiga komunitas Community of Practice (COP) ini, membahas terkait dengan kerangka hukum perlindungan korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Indonesia. Dalam pertemuaan ini ICJR selaku penyelenggara acara juga mengundang perwakilan komisioner dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yakni, Ibu Livia Istania Iskandar yang merupakan komisiner baru dari LPSK. Dalam presentasinya LPSK berbicara tentang hak resititusi yang bisa didapatkan oleh korban TPPO.
Dalam pertemuaan ketiga ini LPSK menjelaskan bahwa menurut Undang-Undang No 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dijelaskan bahwa korban perdagangan orang bisa mendapatkan restitusi atau ganti rugi dari pelaku kepada korban TPPO, dan hal ini diperkuat oleh Peraturan Pemerintah (PP) No. 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban. Setelah pemaparan dari LPSK, fasilitator menanyakan, bagaimana sistem pendataan korban TPPO yang ada dilembaga masing-masing, bagi lembaga yang memiliki dampingan langsung. Lembaga seperti SBMI, Migran Care dan Komnas Perempuan yang memiliki dampingan langsung bagi korban menceritakan terkait pendampingan dan pendataan yang mereka lakukan di daerah yang mereka jangkau. Mereka biasa memakai format pendataan yang berasal dari IOM dalam mendata korban, karena menurut mereka formatnya lebih mudah familiar digunakan oleh mereka. Dalam kesempatan ini ECPAT Indonesia juga memberikan penjelasan terkait pendataan yang ada di ECPAT Indonesia, dan data yang didapatkan digunakan sebagai bahan untuk melakukan advokasi kepemerintah untuk penghapusan eksploitasi seksual anak di Indonesia.
Dalam sesi akhir disepakati untuk melakukan pendataan bersama berdasarkan data yang dipunyai dari masing-masing lembaga untuk pendataan bersama dengan memakai format yang telah disepakati di antara lembaga yang hadir dalam pertemuaan ini, yang nantinya akan digunakan untuk melakukan advokasi di level nasional.