Eksploitasi Seksual Anak merupakan salah satu isu transnasional/lintas negara yang menjadikannya sulit untuk di tangani jika tidak adanya kerja sama antar negara. Dengan kata lain, butuh adanya kerja sama di level regional dan global sebagai basis tulang punggung jika ingin mengatasi isu ini.
ESA sendiri adalah pelanggaran mendasar terhadap anak-anak yang terdiri dari kekerasan seksual anak oleh orang dewasa serta pemberian imbalan baik dalam bentuk uang atau imbalan lainnya terhadap anak, atau orang ketiga yang mewakili anak tersebut (The Stockholm Declaration and Agenda for Action, 1996). ESA memiliki bentuk-bentuk utama, yaitu Pornografi Anak, Prostitusi Anak, dan Perdagangan Anak untuk Tujuan Seksual. Namun ada juga bentuk lainnya seperti Pariwisata Seks Anak dan di beberapa kasus, Perkawinan Anak (International, 2006). Dengan perkembangan jaman, penggunaan internet memunculkan bentuk-bentuk ESA baru seperti Grooming Online, Livestream Pornografi Anak, Sexting, Sextortion dan lainnya. Perlu diketahui kalau ESA ini terjadi karena ada permintaan, sehingga perlu adanya edukasi terhadap masyarakat untuk mengutuk serta menentang segala bentuk ESA, agar masyarakat lebih proaktif bertindak jika ada kejadian ini.
ESA ini merupakan masalah yang penting untuk di hadapi, karena mempunyai dampak yang tidak hanya bagi korban saja, jika di biarkan akan berdampak langsung kepada stabilitas negara dimana korban berada. ESA memiliki dampak yang sangat merusak bagi korban, baik secara fisik seperti cedera, penyakit menular seksual, dan risiko kehamilan di usia muda, maupun psikologis seperti trauma, stres pasca-trauma, depresi, kecemasan, serta gangguan identitas dan harga diri. ESA juga berdampak pada pendidikan korban, yang dapat menghambat masa depan mereka.
Dampak ESA tidak hanya dirasakan oleh individu korban, tetapi juga memiliki konsekuensi sosial dan ekonomi yang besar bagi masyarakat dan negara. ESA merusak nilai-nilai dan kohesi sosial, menimbulkan paranoia, ketakutan, dan ketidakpercayaan di masyarakat. Komunitas dengan tingkat ESA yang tinggi menghadapi stigma dan marginalisasi, yang mempersulit korban untuk melaporkan kejahatan atau mencari bantuan, sehingga menciptakan siklus trauma yang sulit diputus. Hal ini bisa berdampak kepada SDM suatu negara dan mengarahkan negara tersebut menjadi keterbelakangan.
Di level global, The UN Convention on the Rights of the Child (UNCRC) merupakan basis untuk negara-negara di dunia dan Organisasi Non-Pemerintah untuk melakukan kerja mereka dalam melindungi anak-anak. Dalam, UNCRC OPSC (Optional Protocol on the Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography, negara-negara diharuskan melarang secara spesfik penjualan anak, prostitusi anak, dan pornografi anak (Nations, 2000). Protokol ini bertujuan memperkuat perlindungan anak dari eksploitasi seksual dan penyalahgunaan melalui tindakan hukum yang lebih lanjut, serta mengupayakan langkah-langkah untuk mengatasi masalah ini secara holistik atau keseluruhan (Nations, 2000).
Salah satu inisiatif di level Global yang dilakukan adalah Down to Zero. ECPAT Down To Zero adalah sebuah inisiatif internasional yang bertujuan untuk mengakhiri ESA. Inisiatif ini merupakan kolaborasi antara beberapa organisasi, termasuk Terre des Hommes Netherlands, Defence for Children-ECPAT, Free a Girl, ICCO-Cooperation, Plan International Netherlands, dan Kementerian Luar Negeri Belanda. Tujuan utamanya adalah melibatkan sektor swasta dalam upaya pencegahan dan penanggulangan eksploitasi seksual anak di lebih dari 20 negara mitra di Asia, Afrika serta Amerika Latin (Netherlands, 2020). Down to Zero menggunakan pendekatan holistik yang melibatkan pemberdayaan anak dan remaja dengan memberikan pendidikan dan kesadaran tentang hak-hak mereka, serta bagaimana melindungi diri dari eksploitasi seksual. Program ini juga bekerja sama dengan komunitas lokal untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi anak-anak, mendorong pemerintah dan penegak hukum untuk mengembangkan serta menerapkan kebijakan perlindungan anak yang kuat, dan melakukan kampanye untuk meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya pencegahan eksploitasi seksual anak.
Untuk di level Regional, landasan mereka berbeda-beda karena setiap wilayah memiliki pendekatan yang berbeda berdasarkan konteks sosial, ekonomi, dan politik mereka. ASEAN RPA EVAC adalah singkatan dari Association of Southeast Asian Nations Regional Plan of Action on the Elimination of Violence Against Children. Rencana ini mengikuti prinsip dasar yang ditekankan oleh Studi PBB tentang Kekerasan terhadap Anak (VAC) bahwa “tidak ada kekerasan terhadap anak yang dapat dibenarkan. Semua kekerasan terhadap anak dapat dicegah.” (Nations, The UN Convention on the Rights of the Child, 1989) Perlindungan anak dari kekerasan memerlukan pendekatan komprehensif sepanjang siklus hidup anak dan di berbagai konteks, karena banyak jenis kekerasan terkait dengan faktor seperti kemiskinan, ketidaksetaraan, konflik, kurangnya pendidikan, gender, dan bentuk ketidakadilan lainnya. (Anak) Negara anggota ASEAN mengadopsi RPA on EVAC sebagai komitmen mereka terhadap Deklarasi tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan dan Kekerasan terhadap Anak tahun 2013. RPA on EVAC berisi rencana implementasi konkret untuk mengakhiri semua bentuk kekerasan terhadap anak dari tahun 2016 hingga 2025.
Alasan mengapa pencegahan dan penanganan ESA di level Regional ini penting karena untuk kejahatan ESA ini merupakan isu transnasional, yang berartikan isu ini terjadi lintas-negara. Untuk itu kerjasama antar dua negara saja dianggap kurang karena pelaku ini bisa saja tidak hanya ada di kedua negara tersebut. Dengan adanya kerjasama regional, negara-negara dapat saling bertukar informasi, pengalaman, dan sumber daya untuk meningkatkan deteksi, pencegahan, dan penanganan kasus ESA. Selain itu, kerangka kerja regional dapat memperkuat kapasitas institusi penegak hukum, pekerja sosial, dan penyedia layanan untuk menangani kasus-kasus ESA dengan lebih efektif. Hal ini juga memungkinkan untuk pengembangan dan implementasi kebijakan yang lebih kohesif dan komprehensif dalam melindungi anak-anak dari risiko eksploitasi seksual di tingkat regional. Jadi upaya pencegahan dan penanganan di level Regional ini cukup penting jika ingin memperkuat perlindungan terhadap anak dan penegakkan hukum yang efektif.
Pemerintah perlu memprioritaskan langkah-langkah yang kuat dalam penegakan hukum dan implementasi regulasi yang ada untuk melindungi anak-anak dari eksploitasi seksual, juga mengalokasikan sumber daya yang cukup untuk pelatihan petugas penegak hukum dan pekerja sosial. Selain itu, dengan perkembangan teknologi yang begitu pesat dan menjadi sarana pelaku melakukan eskploitasi seksual anak, pemerintah perlu mengintegrasikan literasi digital ke dalam kurikulum sekolah dari tingkat dasar hingga menengah, melibatkan pelatihan khusus bagi guru untuk memastikan mereka dapat mengajarkan keamanan online, etika digital, dan perlindungan informasi pribadi dengan efektif. Regulasi yang ketat mengenai perlindungan data pribadi anak-anak dan penegakan hukum yang kuat terhadap kejahatan siber perlu diterapkan. Pengembangan sistem pelaporan dan bantuan, seperti hotline keamanan siber dan platform pelaporan online yang aman, harus didirikan untuk memberikan bantuan segera.Dengan langkah-langkah ini, pemerintah dapat meningkatkan literasi digital dan keamanan siber di kalangan anak-anak dan masyarakat, serta melindungi mereka dari risiko eksploitasi seksual online.
Eksploitasi Seksual Anak merupakan salah satu isu transnasional/lintas negara yang menjadikannya sulit untuk di tangani jika tidak adanya kerja sama antar negara. Dengan kata lain, butuh adanya kerja sama di level regional dan global sebagai basis tulang punggung jika ingin mengatasi isu ini.
ESA sendiri adalah pelanggaran mendasar terhadap anak-anak yang terdiri dari kekerasan seksual anak oleh orang dewasa serta pemberian imbalan baik dalam bentuk uang atau imbalan lainnya terhadap anak, atau orang ketiga yang mewakili anak tersebut (The Stockholm Declaration and Agenda for Action, 1996). ESA memiliki bentuk-bentuk utama, yaitu Pornografi Anak, Prostitusi Anak, dan Perdagangan Anak untuk Tujuan Seksual. Namun ada juga bentuk lainnya seperti Pariwisata Seks Anak dan di beberapa kasus, Perkawinan Anak (International, 2006). Dengan perkembangan jaman, penggunaan internet memunculkan bentuk-bentuk ESA baru seperti Grooming Online, Livestream Pornografi Anak, Sexting, Sextortion dan lainnya. Perlu diketahui kalau ESA ini terjadi karena ada permintaan, sehingga perlu adanya edukasi terhadap masyarakat untuk mengutuk serta menentang segala bentuk ESA, agar masyarakat lebih proaktif bertindak jika ada kejadian ini.
ESA ini merupakan masalah yang penting untuk di hadapi, karena mempunyai dampak yang tidak hanya bagi korban saja, jika di biarkan akan berdampak langsung kepada stabilitas negara dimana korban berada. ESA memiliki dampak yang sangat merusak bagi korban, baik secara fisik seperti cedera, penyakit menular seksual, dan risiko kehamilan di usia muda, maupun psikologis seperti trauma, stres pasca-trauma, depresi, kecemasan, serta gangguan identitas dan harga diri. ESA juga berdampak pada pendidikan korban, yang dapat menghambat masa depan mereka.
Dampak ESA tidak hanya dirasakan oleh individu korban, tetapi juga memiliki konsekuensi sosial dan ekonomi yang besar bagi masyarakat dan negara. ESA merusak nilai-nilai dan kohesi sosial, menimbulkan paranoia, ketakutan, dan ketidakpercayaan di masyarakat. Komunitas dengan tingkat ESA yang tinggi menghadapi stigma dan marginalisasi, yang mempersulit korban untuk melaporkan kejahatan atau mencari bantuan, sehingga menciptakan siklus trauma yang sulit diputus. Hal ini bisa berdampak kepada SDM suatu negara dan mengarahkan negara tersebut menjadi keterbelakangan.
Di level global, The UN Convention on the Rights of the Child (UNCRC) merupakan basis untuk negara-negara di dunia dan Organisasi Non-Pemerintah untuk melakukan kerja mereka dalam melindungi anak-anak. Dalam, UNCRC OPSC (Optional Protocol on the Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography, negara-negara diharuskan melarang secara spesfik penjualan anak, prostitusi anak, dan pornografi anak (Nations, 2000). Protokol ini bertujuan memperkuat perlindungan anak dari eksploitasi seksual dan penyalahgunaan melalui tindakan hukum yang lebih lanjut, serta mengupayakan langkah-langkah untuk mengatasi masalah ini secara holistik atau keseluruhan (Nations, 2000).
Salah satu inisiatif di level Global yang dilakukan adalah Down to Zero. ECPAT Down To Zero adalah sebuah inisiatif internasional yang bertujuan untuk mengakhiri ESA. Inisiatif ini merupakan kolaborasi antara beberapa organisasi, termasuk Terre des Hommes Netherlands, Defence for Children-ECPAT, Free a Girl, ICCO-Cooperation, Plan International Netherlands, dan Kementerian Luar Negeri Belanda. Tujuan utamanya adalah melibatkan sektor swasta dalam upaya pencegahan dan penanggulangan eksploitasi seksual anak di lebih dari 20 negara mitra di Asia, Afrika serta Amerika Latin (Netherlands, 2020). Down to Zero menggunakan pendekatan holistik yang melibatkan pemberdayaan anak dan remaja dengan memberikan pendidikan dan kesadaran tentang hak-hak mereka, serta bagaimana melindungi diri dari eksploitasi seksual. Program ini juga bekerja sama dengan komunitas lokal untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi anak-anak, mendorong pemerintah dan penegak hukum untuk mengembangkan serta menerapkan kebijakan perlindungan anak yang kuat, dan melakukan kampanye untuk meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya pencegahan eksploitasi seksual anak.
Untuk di level Regional, landasan mereka berbeda-beda karena setiap wilayah memiliki pendekatan yang berbeda berdasarkan konteks sosial, ekonomi, dan politik mereka. ASEAN RPA EVAC adalah singkatan dari Association of Southeast Asian Nations Regional Plan of Action on the Elimination of Violence Against Children. Rencana ini mengikuti prinsip dasar yang ditekankan oleh Studi PBB tentang Kekerasan terhadap Anak (VAC) bahwa “tidak ada kekerasan terhadap anak yang dapat dibenarkan. Semua kekerasan terhadap anak dapat dicegah.” (Nations, The UN Convention on the Rights of the Child, 1989) Perlindungan anak dari kekerasan memerlukan pendekatan komprehensif sepanjang siklus hidup anak dan di berbagai konteks, karena banyak jenis kekerasan terkait dengan faktor seperti kemiskinan, ketidaksetaraan, konflik, kurangnya pendidikan, gender, dan bentuk ketidakadilan lainnya. (Anak) Negara anggota ASEAN mengadopsi RPA on EVAC sebagai komitmen mereka terhadap Deklarasi tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan dan Kekerasan terhadap Anak tahun 2013. RPA on EVAC berisi rencana implementasi konkret untuk mengakhiri semua bentuk kekerasan terhadap anak dari tahun 2016 hingga 2025.
Alasan mengapa pencegahan dan penanganan ESA di level Regional ini penting karena untuk kejahatan ESA ini merupakan isu transnasional, yang berartikan isu ini terjadi lintas-negara. Untuk itu kerjasama antar dua negara saja dianggap kurang karena pelaku ini bisa saja tidak hanya ada di kedua negara tersebut. Dengan adanya kerjasama regional, negara-negara dapat saling bertukar informasi, pengalaman, dan sumber daya untuk meningkatkan deteksi, pencegahan, dan penanganan kasus ESA. Selain itu, kerangka kerja regional dapat memperkuat kapasitas institusi penegak hukum, pekerja sosial, dan penyedia layanan untuk menangani kasus-kasus ESA dengan lebih efektif. Hal ini juga memungkinkan untuk pengembangan dan implementasi kebijakan yang lebih kohesif dan komprehensif dalam melindungi anak-anak dari risiko eksploitasi seksual di tingkat regional. Jadi upaya pencegahan dan penanganan di level Regional ini cukup penting jika ingin memperkuat perlindungan terhadap anak dan penegakkan hukum yang efektif.
Pemerintah perlu memprioritaskan langkah-langkah yang kuat dalam penegakan hukum dan implementasi regulasi yang ada untuk melindungi anak-anak dari eksploitasi seksual, juga mengalokasikan sumber daya yang cukup untuk pelatihan petugas penegak hukum dan pekerja sosial. Selain itu, dengan perkembangan teknologi yang begitu pesat dan menjadi sarana pelaku melakukan eskploitasi seksual anak, pemerintah perlu mengintegrasikan literasi digital ke dalam kurikulum sekolah dari tingkat dasar hingga menengah, melibatkan pelatihan khusus bagi guru untuk memastikan mereka dapat mengajarkan keamanan online, etika digital, dan perlindungan informasi pribadi dengan efektif. Regulasi yang ketat mengenai perlindungan data pribadi anak-anak dan penegakan hukum yang kuat terhadap kejahatan siber perlu diterapkan. Pengembangan sistem pelaporan dan bantuan, seperti hotline keamanan siber dan platform pelaporan online yang aman, harus didirikan untuk memberikan bantuan segera.Dengan langkah-langkah ini, pemerintah dapat meningkatkan literasi digital dan keamanan siber di kalangan anak-anak dan masyarakat, serta melindungi mereka dari risiko eksploitasi seksual online.
Penulis : Fiqih Nanda Firmansyah (Mahasiswa Magang ECPAT Indonesia – Jurusan Ilmu Hubungan Internasional IISIP Jakarta)
Editor: Oviani Fathul Janah (Project Manager)