Awal Juli ini, publik Indonesia dikagetkan dengan adanya kasus pencabulan yang dilakukan oleh seorang oknum anggota/staf Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Lampung Timur berinisial DA. Apa yang dilakukan pelaku ini sangatlah keji dan disayangkan sekali, karena lembaga seperti P2TP2A yang seharusnya menjadi tempat perlindungan bagi anak-anak yang menjadi korban kekerasan malah mendapatkan kekerasan dari salah satu oknum anggota/staf di P2TP2A tersebut. Korban yang sebelumnya adalah korban perkosaan yang dilakukan oleh salah satu anggota keluarganya pun kini harus merasakan kembali kenyataan pahit menjadi korban untuk yang kedua kalinya sebagai korban perkosaan, namun dengan pelaku yang berbeda.
Pelaku pencabulan dalam kasus ini yang merupakan seorang oknum anggota/staf dari P2TP2A ini perlu menjadi perhatian serius bagi pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Kenapa sampai ada seseorang yang memiliki kecenderungan jahat kepada anak-anak bisa bekerja di sebuah lembaga layanan perlindungan anak dari kekerasan seperti P2TP2A ini, apakah tidak ada seleksi yang ketat dalam perekrutan anggota/staf yang akan bekerja? bagaimana memastikan bahwa staf bekerja dengan mekanisme kontrol, berupa kode etik dan SOP penanganan kasus yang memenuhi standar. Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari para penggiat perlindungan anak selama ini, terlebih setelah kasus ini merebak ke publik. Menurut penjelasan dari Deputi Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, di salah satu media nasional, pelaku diangkat melalui surat keputusan yang dikeluarkan oleh Bupati Lampung Timur sebagai anggota di P2TP2A Kabupaten Lampung Timur.
ECPAT Indonesia dalam kasus ini menyatakan dengan tegas penting adanya sebuah kebijakan dan prosedur perlindungan anak di setiap lembaga yang berkaitan dengan perlindungan anak, baik itu lembaga layanan milik pemerintah maupun lembaga layanan yang dikelola oleh organisasi dan perseorangan. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir para pelaku-pelaku yang memiliki niat jahat kepada anak-anak untuk dapat melakukan eksploitasi dan kekerasan kepada anak di lembaga tersebut. Pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak perlu untuk segera membuat pedoman kebijakan perlindungan anak bagi lembaga layanan perlindungan anak yang bekerja langsung dengan anak-anak dampingan. Hal ini dilakukan agar kasus-kasus seperti yang terjadi di P2TP2A Lampung Timur tidak terjadi lagi di masa yang akan datang dan anak-anak benar-benar terlindungi ketika berada di lembaga layanan seperti P2TP2A.
Atas situasi kasus di atas maka ECPAT Indonesia berpendapat perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut :
- Pemerintah Pusat dalam hal ini diwakili oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, harus segera menyusun pedoman kebijakan perlindungan anak bagi para lembaga layanan yang bekerja langsung dengan anak-anak seperti hal nya P2TP2A, agar kasus-kasus seperti ini tidak terulang lagi.
- Pemerintah Daerah dalam hal ini Pemerintah Provinsi Lampung dan Kabupaten Lampung Timur, wajib untuk memperbaiki proses rekrutmen bagi kepengurusan lembaga maupun anggota/staff yang bekerja langsung dengan anak dilembaga layanan P2TP2A, agar kasus-kasus eksploitasi dan kekerasan seksual anak ini tidak terulang lagi dan makin memperburuk citra lembaga layanan seperti P2TP2A.
- Aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa dan Hakim) wajib untuk mementingkan pemenuhan hak-hak korban dalam proses hukum kasus ini dan mampu memberi rasa keadilan bagi korban dan keluarga korban disamping pemberian hukuman yang berat bagi pelakunya. Selain itu mekanisme restitusi dalam kasus ini pun harus segera dijalankan dari awal proses hukum agar hak korban dalam mendapatkan restitusi bisa terealisasi dan pelaku pun ikut bertanggung jawab dalam pemenuhan hak-hak korban dengan membayar restitusi kepada korban. Jika pelaku tidak mampu membayar restitusi, maka negara harus bertanggung jawab dengan memberikan kompensasi bagi korban, hal ini perlu dilakukan sebagai bentuk dari tanggung jawab negara yang telah gagal melindungi korban dari kekerasan dan eksploitasi seksual yang dilakukan oleh oknum anggota P2TP2A dalam  kasus ini.
- Perlu ada evaluasi menyeluruh bagi lembaga layanan P2TP2A di seluruh Indonesia yang dilakukan oleh pemerintah pusat. Evaluasi menyeluruh ini dilakukan bukan hanya untuk melihat kesiapan fisik pelaksanaan layanan bagi korban seperti sarana dan prasarana, kelengkapan administrasi, aksesbilitas dll, namun juga yang perlu di evaluasi adalah bagaimana kualitas sumber daya manusia yang bekerja dalam memberikan layanan bagi anak-anak korban kekerasan dan eksploitasi yang dirujuk ke P2TP2A
Penulis : Rio Hendra (Koordinator Advokasi Ecpat Indonesia)