Seminar combating child sexual exploitation diadakan di Singapura selama empat hari penyelenggaraan, terhitung dari tanggal 18 hingga 21 Juni 2019. Terdapat sekitar 100 peserta yang hadir yang mayoritas berasal dari kepolisian berbagai negara, juga interpol.
Kegiatan ini ditujukan menjadi ruang untuk saling bertukar pengnalaman antar negara dalam penegakan hukum penghapusan eksploitasi seksual anak di seluruh dunia. Selama empat hari penyelenggaraan berlangsung, terdapat tiga topik utama yang dibahas, yaitu:
• Live streaming untuk tujuan seksual
• Traveling child sex offender, serta
• Upaya-upaya sektor privat dalam penanggulangan eksploitasi seksual anak
Pada hari pertama, INTERPOL memaparkan tentang penyebaran Child Sexual Abuse Material (CSAM) yang semakin meluas terjadi di berbagai belahan dunia seiring dengan perkembangan teknologi secara global. Hampir seluruh wilayah di dunia saat ini pernah ditemukan kasus (CSAM).
Selain temuan tersebut, temuan menarik lainnya adalah munculnya tren bahwa pada konteks negara-negara di Asia, transaksi, pencarian maupun pengunggahan konten CSAM dilakukan tanpa fitur pengaman apapun (misalnya saja melalui VPN, enkripsi, dan seterusnya). Sehingga, bagi INTERPOL, akan sangat mudah sebenarnya mengidentifikasi para pelaku yang melakukan pengunduhan, pengunggahan, maupun pencarian konten CSAM. Namun secara umum, INTERPOL melihat hal ini terjadi karena pengetahuan yang rendah tentang keamaman dalam mendistribusikan mupun melakukan pencarian konten CSAM bagi orang-orang di Asia.
Sesi selanjutnya membahas tentang fenomena live-streaming untuk tujuan seksual terhadap anak. Pembahasan ini dilakukan dengan melakukan analisis terhadap kasus di Perancis.
Pada pembahasannya, terdapat beberapa temuan bahwa upaya pengungkapan kasus live-streaming ini menjadi sangat sulit karena kompleksitas legislasi Pemerintah Perancis untuk menyediakan bukti-bukti di pengadilan terkait kejahatan live-streaming ini. Permasalahan ini semakin kompleks ketika kasus live-streaming ini terjadi lintas negara. Sehingga diperlukan kerja sama yang kuat antar negara (dalam kasus ini kasus di perancis tetapi kekerasan terjadi di Filipina). Pembuktian live-streaming menjadi sulit karena tidak adanya konten yang terekam setelah live streaming selesai dilakukan. Oleh karena itu, perlu adanya penguatan pada aspek pembuktian hukum pada kasus live-streaming ini sehingga memudahkan penegak hukum dalam mengumpulkan bukti-bukti dalam pengungkapan di pengadilan.
Sesi selanjutnya dipaparkan oleh Mastercard dan Facebook mewakili private sector tentang upaya-upaya mereka melakukan pencegahan terhadap kasus-kasus eksploitasi seksual anak. Mastercardmenggunakan istilah BRAM (Business Risk Assessment and Mitigation) yang mendata transaksi-transaksi yang melanggar hukum, salah satunya misalnya digunakan untuk melakukan eksploitasi terhadap anak. Melalui BRAM ini, mastercard memiliki prosedur yang jelas ketika jasa keuangan mereka digunakan untuk pelanggaran, termasuk bagaimana berkoordinasi dengan penegak hukum.
Sesi terakhir ditutup dengan diskusi kelompok kecil antar negara eropa dan asia. Fokus diskusi kelompok kecil ini adalah bagaimana memperkuat kerja sama antara penegak hukum di eropa dengan di Asia dalam menginformasikan tentang kasus travelling child sexual offender dari Eropa ke Asia. Dari diskusi ini ditemukan bahwa sebagian besar negara Eropa belum memiliki kerja sama dengan negara Asia untuk mencegah TCSO dari negara eropa agar ditolak oleh negara asia yang dituju. Oleh karena itu, sesi ini ditutup dengan rekomendasi agar adanya kerja sama yang lebih kuat antara asia dan eropa dalam mengurangi potensi kekerasan yang dilakukan oleh para mantan narapidana pelaku kekerasan seksual terhadap anak untuk melakukan kekerasan seksual terhadap anak lagi di negara-negara lain di Asia.
Penulis : Deden Ramadani (Koordinator Riset)