Startup meeting ini selain menandai dimulainya kegiatan program, juga menjadi forum sosialisasi hasil assessment kapasitas UPTD. Menindaklanjuti pertemuan pertama dengan UPTD, ECPAT Indonesia melaksanakan assessment dengan 5 UPTD terpilih yakni DKI Jakarta, Kota Bandung, Kabupaten Sleman, Kota Surakarta, Kabupaten Sidoarjo, dimana hampir semua perwakilan unit layanan dari UPTD telah mengisi kuesioner, dengan total 80 responden. Dari hasil assessment tergambar kebutuhan penguatan kapasitas UPTD, dimana 96,2 persen responden, mengatakan bahwa mereka membutuhkan penguatan kapasitas. SOP yang ada adalah SOP umum, sedangkan untuk korban ESKA dibutuhkan SOP yang spesifik, yang menjawabi kebutuhan psikososial anak. Kode etik dimiliki hampir oleh semua UPTD tetapi tidak semua pekerja di UPTD memahami kode etik tersebut. Ada hal yang kontradiktif dalam hasil temuan tentang kekuatan dan kelemahan lembaga , misalnya soal kode etik dimana sebagian melihat kode etik sebagai kekuatan, sebagian lagi melihat hal tersebut sebagai kelamahan. Demikianpun soal pemahaman issue. Penguatan yang dibutuhkan oleh UPTD PPA yg diangkat dalam assesment ini, mengerucut pada penguatan pendampingan hukum, konseling dan rumah aman.
Dalam sambutannya, Deputi perlindungan anak juga melihat bahwa penguatan UPTD PPA sangat dibutuhkan, mengingat banyak kasus, khususnya kasus Lampung Timur yang baru saja terjadi. ECPAT diminta untuk bersama lembaga lain, mendukung pengembangan prosedur penanganan kasus serta sistem data base. Sejak tahun 2020 KPPPA telah mendapatkan tambahan fungsi layanan sehingga KPPPA ingin dapat menghitung berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk penanganan kasus sampai ke reintegrasi ke masyarakat. SOP telah diterapkan, namun masih berada di level style kerja individual, belum menjadi sistem. Ini yang harus diupayakan ke depan, sehingga penerapan SOP menjadi sistem kerja profesional, siapapun yang bekerja anak menerapkan sistem kerja yang sama.
Peserta meeting juga mengangkat perlunya perhatian pada saat rekrutment, yang memerlukan crosschecks dan pelatihan/orientasi bagi staff. Juga upgrade kode etik secara berkala untuk mengingatkan staff UPTD tentang kode perilaku yang harus dihayati dan dipraktekkan oleh seluruh staff UPTD. Saling belajar antar UPTD dapat menjadi salah satu bentuk penguatan konkrit.
Penerapan dan Penegakkan Undang-Undang juga membutuhkan penguatan, karena APH kebanyakkan menggunakan KUHP dan belum terbiasa dengan UU Perlindungan anak, padahal UU ini sudah sangat baik dan memiliki pasal pemberat bagi pekerja yang berhubungan dengan anak. Peningkatan kapasitas penegak hukum menjadi signifikan diperlukan. Demikianpun ranah kejahatan online, harus mendapatkan perhatian khusus ke depannya.
Asisten Deputi Perlindungan Anak, ibu Valentina Ginting dalam sambutan penutupnya, mengapresiasi inisiatif ini dan menekankan bahwa kerja ECPAT Indonesia ini adalah kerja bersama dengan KPPPA, sehingga seluruh UPTD diharapkan sungguh memanfaatkan peluang ini. ECPAT Indonesia juga diundang untuk memperkuat kerja KPPPA di bidang lain, bersama dengan lembaga lain yang semisi dan telah terlibat dalam jejaring di KPPPA, seperti UNICEF, Save the Children, Plan International, dll.
Penulis : Maria Yohanista