ECPAT Indonesia dalam program Voice for Change, telah menyelenggarakan Workshop “Finalisasi Modul Pelatihan Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu untuk Anak Korban Eksplotasi Seksual” pada hari Senin, 14 Juni 2021 di hotel Mercure Sabang, Jakarta Pusat.
Pada kegiatan tersebut ECPAT mengundang beberapa stakeholder terkait diantaranya Kanit PPA Bareskrim Polri, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Kementerian Sosial Republik Indonesia, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Yayasan Pulih, Tenaga Kesehatan Rumah Sakit Bhayangkari Polri Jakarta, Unit PPA Polres Jakarta Timur, Satuan Bakti Pekerja Sosial DKI Jakarta, UPTD P2TP2A DKI Jakarta, Bhabinkamtibmas Ciracas, Jakarta Timur, Puskesmas Ciracas, Jakarta Timur, Kelurahan Ciracas, Jakarta Timur, Yayasan Bandungwangi, Aliansi Down to Zero, KOMPAK Jakarta, LBH Apik Jakarta, PATBM DKI Jakarta dan Forum Anak DKI Jakarta.
Alasan memilih peserta workshop dari berbagai unsur tersebut adalah untuk mendapatkan masukan komprehensif dari beberapa pengalaman penanganan kasus dan penerapan hak anak pada draft modul pelatihan penyelenggaraan pelayanan terpadu untuk anak korban eksploitasi seksual.
Adapun materi pelatihan yang dibahas dalam workshop tersebut adalah:
- Modul 1: Pengantar Tindak Pidana Eksploitasi Seksual Anak (TPESA)
- Modul 2: Layanan Bantuan Hukum bagi Korban Eksploitasi Seksual Anak
- Modul 3: Pelayanan Kesehatan Untuk Anak Korban Eksploitasi Seksual
- Modul 4: Layanan Psikologis Bagi Anak Korban Eksploitasi Seksual
- Modul 5: Pelayanan Dan Perlindungan Anak Saksi Dan Korban Eksploitasi Seksual
- Modul 6: Rehabilitasi Sosial Anak Korban Eksploitasi Seksual
- Modul 7: Pentingnya Reintegrasi Pendidikan bagi Anak Korban Eksploitasi Seksual
Workshop ini sangat penting, karena rencananya modul yang dihasilkan akan digunakan untuk melatih para penyedia layanan pemulihan anak korban eksploitasi seksual di 8 kota, diantaranya Batam, Bali, Indramayu, Jakarta, Lombok, Medan, Solo dan Surabaya. Untuk detail pesertanya akan menyasar: (1) Layanan Hukum yang meliputi Aparat Penegak Hukum: Unit PPA, Babin, Lembaga Bantuan Hukum, (2) Layanan Psikologis dan Kesehatan: P2TP2A, Staf Rumah Sakit, Staff Puskesmas, UPTD, (3) Layanan Reintegrasi Sosial: Dinas Sosial, Staff LPSK, Saksi Peksos, PATBM: Perwakilan Tokoh Masyarakat/Tokoh Adat/Tokoh Agama, Organisasi Masyarakat, Forum Anak dan (4) Layanan Reintegrasi Pendidikan: Dinas Pendidikan.
Melalui pelatihan tersebut diharapankan dapat mengurangi trauma yang dialami korban eksploitasi seksual anak dan juga dapat meningkatkan kerjasama antar multi stakeholder pemberi pelayanan dan penanganan kasus eksploitasi seksual anak.
Dalam workshop tersebut telah berhasil mendapatkan beberapa masukan dari stakeholder pemberi layanan, diantaranya:
- Penting menambahkan prinsip non-stigmatisasi, prinsip sensitifitas gender, prinsip memposisikan dan memperlakukan seseorang yang belum diketahui umurnya sebagai korban (anak) hingga mendapatkan kejelasan umur korban;
- Perlu ditambahkan Kepres Nomor 75 Tahun 2020, Permensos Nomor 16 Tahun 2020 dan Permensos Nomor 26 Tahun 2018 dan beberapa aturan lainnya yang terkait prinsip layanan berperspektif korban dan juga partisipasi dan peran masyarakat dalam upaya rehabilitasi sosial korban ekaploitasi seksual;
- Penting menambahkan topik bahasan yang menjelaskan dampak pada kesehatan reproduksi, misalkan korban mengalami tertular penyakit menular seksual dan/atau kehamilan tidak dikehendki dll;
- Penting untuk bekerjasama dengan BNSP, hal ini untuk upaya sertifikasi modul, agar modul nantinya dapat di review oleh tim kurikulum dan digunakan oleh instansi terkait;
- Penting menyusun goal reintegrasi pendidikan dibuat lebih fleksibel berdasarkan kebutuhan dan ketertarikan anak, meskipun goal tertingginya adalah pendidikan formal, yaitu anak korban eksploitasi seksual mendapatkan akses dan jaminan kembali bersekolah secara reguler atau formal. Namun jika anak korban eksploitasi seksual memilih untuk kejar paket, pihak pemberi layanan harus tetap menghormati pilihan anak dan memfasilitasi pemenuhannya, pun ketika anak korban eksploitasi seksual memilih sekolah informal atau kursus-kursus keterampilan maka pemberi layanan juga harus tetap memfasilitasinya;
- Menyusun kembali alur atau mekanime kerjasama multipihak pemberi layanan untuk lebih didetailkan setingkat implementator di pemerintah daerah;
- Perlu mengecheck kembali apakah 8 daerah yang akan mendapatkan pelatihan telah memiliki Perda Perlindungan Anak, karena dengan keberadaan Perda Perlindungan Anak maka akan ada konsekuensi anggaran untuk upaya layanan perlindungan anak;
- Penting memikirkan Kembali tantangan pada saat proses layanan reintegrasi social, yaitu ketika pelaku tindak pidana adalah orang terdekat atau bagian dari keluarga maka perlu merinci secara hati-hati mekanisme reintegrasi sosial anak, anak akan tinggal bersama siapa setelah pemulihan? Keluarga inti atau keluarga asuh? (Hal ini mengingat prinsip reintegrasi sosial adalah tidak menjauhkan anak dr keluarga); dan
- Perlu ada satu topik yang membahas khusus anak disabilitas korban eksploitasi seksual.