Team Advokasi Masyarakat Peduli Anti Trafficking (TAMPAK) yang beranggotakan LBH Jakarta, ECPAT Indonesia, Lentera Anak dan KPAI menangani kasus DH yang merupakan seorang korban perdagangan orang di Jakarta. Korban yang baru berusia 15 tahun ini berasal dari Bogor. Di tempat tinggalnya korban berkenalan dengan seorang perempuan sebut saja dengan Ida yang tinggal di lokasi yang sama dengan korban. Ida mengenalkan korban ke seorang perempuan lain sebut saja Wulan yang selanjutnya mengajak korban untuk bekerja sebagai sebagai pelayan/waitress show room di Jakarta.
Saat berada di Jakarta, korban menginap di sebuah Apartemen yang beralamat di Kemayoran, dan saat di Apartemen tersebut, Wulan memberikan informasi bahwa korban bisa melakukan cas bon atau meminjamkan uang terlebih dahulu ke perusahaan. saat itu pun korban menyetujui ide dari Wulan, korban pun meminjamkan uang ke perusahan sebesar Rp 3.500.000,- (Tiga juta lima ratus ribu rupiah), namun perusahaan membuatkan kwitansi sebesar Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah).
Saat tiba di Jakarta, korban menandatangani kontrak kerja selama 2 tahun , dan pada malam harinya Wulan mengajak korban ke untuk pergi ke Kelapa Gading, dan korban langsung dibawa ke apartemen Kelapa Gading di lantai 19. Pada malam pertama korban ditempatkan di diamond, dan bertemu dengan seorang laki-laki yang telah menunggu korban selama ± 5 jam, laki-laki tersebut bernama dan biasa dipanggil dengan panggilan Koko Win. Setelah bertemu dengan Koko Win, korban dibawah ke sebuah kamar untuk melakukan pemeriksaan atau cek body, korban harus melepaskan semua pakaian. Ada tiga orang yang hadir pada saat pemeriksaan body tersebut antara lain; Koko Win, W dan Ragil alias Ria (Manajemen Officer di Apartemen Kelapa Gading). Setelah pemeriksaan tersebut, mereka membawa korban untuk kembali ke apartemen Wulan.
Pada hari ke 2, korban mulai bekerja, Iman sebagai petugas yang menjemput korban untuk bekerja di tempat yang sering disebutkan dengan Diamond, pekerjaan tersebut sampai jam 5 pagi, mereka memaksa korban untuk merokok dan minum-minuman beralkohol.
Pada hari ke-3, mereka membawa korban ke tempat yang bernama King Kross, dalam keadaan mabuk tanpa sadar, mereka memaksa korban untuk melayani tamu, setelah sadar korban melihat seprei korban ada titikan darah, dan pada saat itu pun korban berpikir untuk melarikan diri dari tempat tersebut. Pada pukul 24.00 WIB korban dengan menggunakan taksi, korban melarikan diri ke Bogor.
Korban dan LSM Patroli Bogor, telah melaporkan kasus ini di Polresta Bogor, namun pada saat yang bersamaan korban dilaporkan oleh king kross ke Polsek Kelapa Gading, dengan tuduhan telah melakukan penipuan kepada king kross dan pasal yang digunakan adalah pasal 378 KUHP tentang Penipuan.
Berdasarkan hal tersebut, ECPAT Indonesia bersama TAMPAK mengajukan gugatan pra peradilan ke Kepolisian (Polsek Kelapa Gading), gugatan ini sebagai bentuk tindakan protes yang kami lakukan secara hukum atas penetapan korban sebagai tersangka berdasarkan Pasal 378 KUHP terhadap korban di Polsek Kelapa Gading. Penetapan tersangka kepada korban dapat terbantahkan oleh Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang terdapat pada pasal 2 yang mengatakan “Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Tindakan pelapor (King Kross, dkk) dengan memalsukan identitas, melakukan penipuan untuk memberikan pekerjaan sebagai pelayan/waitress show room kepada korban, namun faktanya korban bekerja di tempat prostitusi dengan mengekspolitasi korban secara seksual guna mendapatkan keuntungan bagi King Kross dkk, dan memberikan pinjaman uang terlebih dahulu kepada korban merupakan salah satu tindakan penjeratan hutang kepada korban, hal ini menjadikan dasar bagi pelapor untuk melakukan tindakan apapun kepada korban. Pelapor menjadikan korban tidak berdaya karena memikirkan hutang-hutannya. Kebanyakan kasus-kasus perdagangan manusia itu terjadi karena adanya jeratan hutang terhadap korban maupun kepada keluarga korban. Dengan demikian modus jeratan hutang tersebut diatas tidak dapat dijadikan dasar bagi Kepolisian untuk memproses laporan dari Pelapor di Polsek Kelapa Gading.
Dalam Undang-undang Perlindungan Anak juga mengatur mengenai Perlindungan Khusus bagi anak korban Penculikan, Penjualan, dan/atau perdagangan sebagaimana di maksud dalam Pasal 59 ayat 2 huruf h dilakukan melalui upaya pengawasan, perlindungan, pencegahan, perawatan dan rehabiltasi. Pada kasus ini seharusnya Kepolisian memberikan perlindungan bagi korban yang telah menjadi korban penjualan dan/atau perdagangan yang dilakukan oleh Ida, Wulan, Iman dan Guntur.
Selain itu dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 2015 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang terdapat pada Pasal 10 yang mengatakan :
(1) “Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik.
(2) Dalam hal terdapat tuntutan hukum terhadap Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikan, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan atau ia berikan kesaksian telah diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap”
Maka berdasarkan Undang-undang No 31 Tahun 2015 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, seharusnya Polsek Kelapa Gading tidak dapat mempidanakan korban atau tidak dapat menetapkan korban sebagai tersangka pada kasus ini, karena terlapor merupakan korban dari suatu kejahatan yang terorganisir dan kasus ini telah dilaporkan di Polresta Bogor. Tindakan laporan balik ini sebagai salah satu bentuk adanya suatu posisi tawar yang dilakukan oleh pelaku kepada korban.
Maka berdasarkan dengan ini TAMPAK menyampaikan hal-hal penting sebagai berikut:
- Kami siap melakukan gugatan pra peradilan untuk Kepolisian Polsek Kelapa Gading atas penetapan korban sebagai tersangka.
- Meminta kepada Kepolisian untuk menghentikan KRIMINALISASI kepada korban dan keluarganya.
- Menghentikan kasus ini tanpa ada proses tawar menawar dengan mencabut laporan di Polresta Bogor terkait dengan laporan adanya telah terjadi Tindak Pidana Trafficking terhadap korban.
- Meminta kepada Polsek Kelapa Gading untuk menjalankan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2015 yang terdapat pada Pasal 10 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
- Meminta kepada Kepolisian untuk membuka sindikat perdagangan manusia tersebut sampai TUNTAS.
- Meminta kepada Kepolisian untuk mencari pelaku yang telah melakukan kekerasan seksual kepada korban, dengan memanfaatkan kondisi korban yang sedang dalam tidak sadar.
- Melakukan penutupan tempat usaha (King kross) dan pemilik tempat usaha tersebut bertanggungjawab terhadap korban.