Pada tahun 2013 ECPAT Indonesia melakukan riset dan pemetaan ini difokuskan pada lima kota di negara ini, yaitu: Medan, Indramayu, Manado, Semarang, Solo dan Surabaya dan mengungkapkan bahwa ada trend kenaikan jumlah anak-anak mengalami kekerasan dan eksploitasi seksual hingga 150% termasuk di dalamnya pelacuran anak, pornografi anak dan perdagangan seks anak. Selain itu, ECPAT Indonesia juga menemukan fakta bahwa ditemukna 40 desa di 6 propinsi yang menjadi daerarah destinasi wisata seks anak yaitu yaitu Bali, Nusa Tenggara Barat, Jawa Tengah, Kepulauan Riau, Jawa Barat dan Jawa Timur. Selain itu ditemukan fakta juga bahwa kekerasan seksual dan pelacuran ditemukan secara merata di propinsi-propinsi tersebut. Bali dan Nusa Tenggara Barat juga dinyatakan sebagai daerah tujuan wisata seks utama dari manca Negara dimana banyak anak menjadi sasaran eksploitasi seksual.
Dari data di atas menunjukan, kebanyakan menjadi korban merupakan anak-anak yang dari golongan menengah ke bawah. Kekerasan dan eksploitasi seksual ini terjadi kebanyakan karena faktor kemiskinan, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual, pelecehan seksual, akses media yang sangat terbuka sehingga ada anak-anak yang menjadi korban perdagangan manusia baik itu untuk ekspolitasi fisik, ekonomi dan seksual, menjalankan keinginan dari orang dewasa dan anak-anak dengan tujuan mencari kehidupan yang lebih baik lagi, sehingga banyak orang dewasa dan juga teman-teman korban menjual anak untuk diperdagangkan untuk tujuan ekspolitasi seksual, regulasi yang tidak tidak tegas dalam mengkriminalkan pelaku, serta lemahnya pengetahuan, ketrampilan dan komitmen penegak hukum dalam mengatasi masalah ini.
Dari kasus yang muncul kendala yang sering muncul adalah proses penegakan hukum yang tidak maksimal dalam penanganan kasus anak yang menjadi korban ESKA, mulai dari aparat penegak hukum yang tidak maksimal dalam melakukan penyelidikan, perspektif aparat penegak hukum yang masih kurang dalam menggunakan undang-undang yang tidak maksimal dan tidak tepat.
Pada proses penyidikan, terkadang aparat penegak hukum tidak menggunakan Undang-undang yang tepat, tidak mengedepankan kepentingan anak yang menjadi korban ESKA, dan ada aparat penegak hukum juga yang tidak memiliki perspektif terhadap anak, dengan tidak memikirkan kondisi psikologis korban dengan memberikan pertanyaan yang berulang kali, menyalahi korban dll, tanpa memikirkan kondisi psikologis korban yang akan menimbulkan trauma yang berlipat bagi korban.
Permasalan lain yang muncul adalah kekurangan personil di aparat penegak hukum itu sendiri, di beberapa tempat masih kurangnya personil untuk menangani permasalahan perempuan dan anak, dan penyidik juga tidak memiliki keahlian yang spesifik pada bidang yang ditangani oleh mereka, Penyidik juga tidak terbuka atau tidak kooperatif dalam menghadapi korban.
Berdasarkan kondisi diatas, ECPAT Indonesia akan mengadakan pelatihan bagi para Aparat penegak hukum (APH) dalam waktu dekat ini untuk mengedepankan kepentingan anak yang menjadi korban dalam menanganin masalah anak yang menjadi korban ESKA.
Pelatihan ini bekerjasama dengan Lemdikpol selaku lembaga pendidikan bagi polisi dengan tujuan agar polisi lebih mempunyai presfektif anak ketika menangani kasus anak terutama anak korban ESKA. ECPAT Indonesia juga akan menyediakan modul mengenai penanganan kasus anak yang bisa menjadi panduan bagi aparat penegak hukum dalam menangani kasus anak.