Rekomendasi Masyarakat Sipil untuk RANHAM 2020-2024

SHARE
Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp
Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on whatsapp
WhatsApp

Pada hari Rabu tanggal 19 Desember 2018, ECPAT Indonesia mendapatkan undangan dari ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat membela Hak Asasi Manusia untuk Keadilan) dalam diskusi terbatas yang membahas tentang “RANHAM Generasi Kelima: Rekomendasi Masyarakat Sipil  untuk RANHAM 2020-2024” bersama dengan Tim dari Sekertariat dan Direktorat Hukum dan Regulasi Kementerian BAPPENAS di Hotel Ashley, jalan Wahid Hasyim Kebon Sirih, Jakarta Pusat.

Dalam paparannya ELSAM memberikan beberapa catatan penting yang harus segera mendapatkan perhatian, diantaranya berdasarkan diskusi dengan beberapa perwakilan pemerintah daerah ditemukan adanya perihal pelaporan HAM yang tidak kontekstual, misalnya daerah Jawa Tengah yang tidak memiliki konflik masyarakat adat, namun dalam laporannya ada item pembahasan masyarakat adat, dalam hal ini maka diperlukan pembuatan laporan HAM yang berbasis pada kontekstualisasi daerah. Catatan kedua, dalam penyusunan laporan HAM daerah tidak melibatkan legislatif, padahal DPRD dalam hal ini berperan penting untuk memonitoring berjalannya perlindungan HAM didaerah.

Adapun catatan dari Direktorat Hukum dan Regulasi bahwa ada persoalan koordinasi internal yang belum sinergis dalam implementasi dan penyusunan pelaporan HAM. Misalnya keterbatasan struktur Direktorat Hukum dan Regulasi BAPPENAS untuk dapat berkoordinasi langsung dengan Pemerintah Daerah sehingga membutuhkan bantuan dan partisipasi aktif dari Kementerian Dalam Negeri. Dalam hal ini catatan pentingnya adalah beberapa Kementerian belum mengintegrasikan perspektif HAM dalam program kerjanya.

Berdasarkan hal itu maka dalam diskusi tersebut, ECPAT Indonesia memberikan masukan berdasarkan pengalaman kerja-kerja ECPAT Indonesia, diantaranya: Pertama memberi masukan pada tujuan khusus ketiga dimana sasaran khususnya adalah meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan kesadaran aparat penegak hukum dalam penanganan kasus-kasus kekerasan perempuan dan anak termasuk berbicara tentang partisipasi anak. Berdasarkan pada hasil penelitian ECPAT Indonesia dengan Kementerian Sosial tahun 2016 dimana ditemukan bahwa anak pelaku sodomi, dilatarbelakangi sebagai korban sodomi, dan juga penelitian tentang evaluasi pelayanan rehabilitasi bagi anak pelaku kekerasan seksual anak terhadap anak yang dilaksanakan di 4 Kabupaten/Kota (Bandung, Makassar, Surabaya dan Mataram) ditemukan belum adanya mekanisme rehabilitasi yang spesifik untuk memberikan rehabilitasi pada pemulihan psikologi anak pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Sehingga ECPAT mengusulkan agar indikator capaian terpenuhinya tujuan ketiga tidak berhenti pada perlakuan aparat penegak hukum pada saat proses persidangan saja, namun indikator pemenuhan HAM juga sampai pada pemenuhan rehabilitasi anak pelaku di lembaga permasyarakatan anak. Kedua; karena dalam penyusunan RAN HAM BAPPENAS telah melibatkan anak, maka terkait penyusunan laporan HAM diharapkan anak dilibatkan dan ikut berpartisipasi aktif. Ketiga terkait dengan hak anak mendapatkan informasi yang mendukung tumbuh kembang anak, maka dengan adanya era digital, diharapkan pemerintah menaruh perhatian besar pada pemenuhan hak anak untuk mendapatkan akses informasi dan teknologi serta internet yang aman bagi anak. Keempat: ECPAT Indonesia mengharapkan pemerintah dalam hal ini Direktorat Hukum dan Regulasi memperjelas posisi dan status Perpu yang mengatur tentang kebiri, hal ini mengingat beberapa kementrian dan juga yudikatif yang menginginkan segera berlakunya Perpu tersebut namun ada satu kementerian yaitu Kementerian Kesehatan yang menganggap Perpu tersebut melanggar HAM, sehingga Ikatan Dokter Indonesia menolak untuk teknikal melakukan kebiri. Persoalan ini penting dan mendesak untuk mendapatkan kejelasan. Kelima terkait dengan adanya pelaku pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Koorperasi khususnya dibidang pariwisata, dengan maraknya pariwisata seks anak, prostitusi anak dan perdagangan anak untuk tujuan seksual, maka kementerian terkait segera membuat program bersama-sama dengan privat sector untuk memberlakukan Children Rights Business Principle (CRBP).

Penulis : Umi Farida

SHARE
Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp
Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on whatsapp
WhatsApp

Masukkan kata kunci pencarian...