Seminar Series : Menguatkan Peneliti, Pelaku dan Praktisi Perlindungan Anak di Indonesia

SHARE
Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp
Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on whatsapp
WhatsApp

Universitas Indonesia, 28 – 29 September 2016 – Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 menjelaskan bahwa anak memiliki hak yang harus dipenuhi, salah satunya adalah hak untuk mendapatkan perlindungan. Anak tidak bisa dinilai dan dipandang sebagai individu dewasa yang terperangkap dalam tubuh yang kecil. Untuk memperkuat pemahaman terkait perlindungan Anak, Pusat kajian Perlindungan Anak (PUSKAPA) Universitas Indonesia menyelenggarakan seminar series dengan tema “Menguatkan Peneliti, Pelaku dan Praktisi Perlindungan Anak di masa Depan”.

Pada hari Rabu, 28 September 2016, acara seminar series berfokus pada anak dan penyalahgunaan narkotika. Pembahasan dimulai dari presentasi mahasiswa dan mahasiswi program magister kriminologi peminatan perlindungan anak memperkenalkan penelitian mereka masing-masing berkaitan dengan anak dan narkotika. Setelah itu, masuk pada pembahasan yang dipandu oleh Dra. Ni Made Martini, M.Si (Departemen Kriminologi FISIP UI) selaku moderator dan dimulai oleh Brigjen Polisi Ida Utari selaku Direktur Rehabilitasi BNN mengenai Agenda Perangi Narkoba dan Perlindungan Anak.

Dalam paparannya, beliau menyampaikan bahwa berdasarkan survey pada tahun 2014, sebanyak 22% pengguna narkoba adalah pelajar dan mahasiswa. Lalu, pada tahun 2015, jumlah penyalahgunaan narotika pada anak usia <19 tahun yang mendapatkan rehabilitasi sebanyak 348 orang (survey yang didapatkan oleh Balai milik BNN) dan jumlah tersangka kasus narkotika berdasarkan kelompok umur tahun 2011 – 2015 pada usia anak sekolah dan remaja (usia <19 tahun) sebanyak 1.888 orang (5,2%); 2.235 orang (6,3%); 2.449 orang (5,7%); 2.374 orang (5,5%); dan 2.186 orang (4,4%). Brigjen Polisi Ida Utari juga membahas kasus yang terjadi pada 10 anak remaja yang tertangkap oleh BNNP Bali, mereka berusia 15 – 21 tahun dan tertangkap positif menggunakan shabu. Peran keluarga yang kurang optimal membuat kaburnya tata nilai, khususnya tentang aturan sosial sehingga membuat kesembilan remaja tersebut kurang berfungsi optimal dalam menjalankan tugas-tugas perkembangannya.

Tidak hanya berbicara mengenai tertangkapnya anak dalam kasus narkotika, namun beliau juga membahas mengenai sanksi yang didapatkan oleh anak dalam lingkungan sekolah. Anak yang menyalahgunakan narkotika dalam usia sekolah membuat mereka dikeluarkan dari sekolah karena stigma negatif yang diberikan oleh lingkungan masyarakat (teman sebaya, guru, dan orangtua murid). Padahal, mendapatkan pendidikan yang layak adalah salah satu hak anak yang harus dipenuhi.

Upaya yang dilakukann oleh BNN dalam kasus ini adalah menyusun pedoman rehabilitasi anak, berkoordinasi dengan instansi terkait, menyiapkan tempat rehabilitasi anak, dan menyusun petunjuk teknis pelaksanaan rehabilitasi anak. Hal-hal yang dibutuhkan dalam pelaksanaan rehabilitasi anak adalah modul rehabilitasi anak, capacity building bagi petugas rehabilitasi anak, benchmarking dan best practice pelaksanaan rehabilitasi anak di tingkat nasional, regional, dan internasional, penelitian tentang modalitas rehabilitasi anak yang feasible di Indonesia, mekanisme penjangkauan anak, dan kajian dari berbagai ilmu mengapa anak menggunakan narkoba.

Pembahasan selanjutnya diberikan oleh Cendy Adam (MAPPI FH UI) mengenai perkembangan dan kritik terhadap RUU. Beliau menjelaskan mengenai beberapa pasal terkait dengan narkotika. Pasal 111, 112, 117, 122 (menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan narkotika). Pasal 113, 118, 123 (memproduksi, mengimpor, mengekspor, menyalurkan narkotika). Pasal 114, 119, 124 (menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menyerahkan narkotika). Pasal 115, 120, 125 (membawa, mengirim, mengangkut, mentransito  narkotika). Pasal 116, 121, 126 (menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika untuk digunakan orang lain). Pasal 127 (menyalahgunakan narkoba bagi diri sendiri). Dan pembahasan terakhir diberikan oleh Edi Wibowo (Mahkamah Agung RI) mengenai Tantangan Memeriksa Perkara Narkotika yang Melibatkan Anak.

Pada hari kedua, pembahasan dilanjutkan dengan mengangkat tema “Tantangan dan peluang dalam Menjamin Perlindungan Anak yang Terdampak oleh Migrasi”. Isu ini menjadi penting karena hak mendapatkan perlindungan adalah hak yang harus diterima oleh anak, termasuk anak-anak yang sedang berada dalam kondisi terpapar oleh migrasi.

Acara dipandu oleh Dr. M. Kemal Dermawan, M.Si selaku moderator dan acara dibuka dengan pidato sambutan yang diberikan oleh Ketua Departemen Kriminologi FISIP UI selama 10 menit. Acara dilanjutkan dengan perkenalan Program Magister Kriminologi Peminatan Perlindungan Anak: “Siap Menjawab Tantangan Masa Depan Perlindungan Anak” oleh Ketua Program Studi Pascasarjana Kriminologi FISIP UI. Salah satu mahasiswa program magister kriminologi peminatan perlindungan anak, yaitu Rahmadi Usman memperkenalkan penelitian nya mengenai Perlindungan Anak Pengungsi Etnis Rohingya dalam Kearifan Lokal “Peumulia Jamee” di Aceh.

Pembicara pertama yang memberikan pembahasan adalah Andi Taletting (Kasubdit Kerjasama Luar Negeri, Ditjen. HAM, Kemenkumham) yang membahas mengenai perlindungan anak terkait migrasi pengungsi. Pembicara kedua adalah Niken Lestari dari pihak UNICEF, membahas mengenai standar perlindungan anak yang mengungsi karna terpapar konflik dan bencana alam. Sebelumnya, ibu Niken memberikan definisi mengenai migran, refugue, dan internally displaced person.

Migran adalah individu yang berpindah karna ingin mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Sedangkan, refugee adalah individu yang terpaksa mencari keamanan karena terpapar ancaman kepada nyawa seseorang. Dan internally displaced person adalah individu yang harus mengungsi dalam negeri sendiri akibat dari bencana yang disebabkan oleh manusia. Sekitar 13.110 pengungsi dan pencari suaka, 1.095 diantaranya adalah anak, dan 461 dari 1.095 anak adalah tanpa pendampingan. Anak cenderung lebih merasa traumatis daripada orang dewasa. Pengungsi yang terpisah dengan keluarga memiliki resiko lebih besar dibandingkan dengan pendamping dan mendapatkan tekanan fisik dan psikologis. Resiko yang didapatkan oleh anak pengungsi dengan atau tanpa pendamping adalah trafficking dan eksploitasi pekerja anak, terpisah dengan keluarga, pendidikan yang terganggu, pengasingan sosial, tidak ada identitas dan status, hilang, dan kematian.

Konvensi pengungsi 1951 mengatakan bahwa pengungsi tidak boleh dikembalikan ke negara asal jika berhubungan dengan nyawa pengungsi tersebut. Deklarasi New York 19 September 2016 yang berisi melindungi hak pengungsi, menyelamatkan nyawa, dan berbagi tanggung jawab perpindahan dalam skala global.

Pembicara ketiga dalam pembahasan adalah Santi Kusumaningrum (Co-Director PUSKAPA). Beliau menyampaikan bahwa pengungsi adalah anak yang berpindah tempat (sendiri, bersama pengasuh, teman sebaya) dalam negara yang sama atau lintas bangsa sukarela dan terpaksa karena bencana atau konflik. Sekitar 100.000 anak dan perempuan Indonesia diperdagangkan setiap tahun (UNICEF). Lalu, dimanakah letak kesadarannya? Itulah yang dipertanyakan. Dampak pada status dan identitas hukum, sekitar 12% anak dari orangtua pekerja migran di NTB yang memiliki akta kelahiran.

Setelah pembahasan selesai, lalu sesi tanya jawab dengan audiens. Dan pada akhir acara adalah penutupan dan penyerahan plakat oleh Ketua Program Studi Pascasarjana Kriminologi FISIP UI.

Penulis :

Hana Anggraini || Netaneel Yoana

Internship ECPAT Indonesia

Editor :

Deden Ramadani

Research Coordinator ECPAT Indonesia

SHARE
Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp
Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on whatsapp
WhatsApp

Masukkan kata kunci pencarian...