Anak Indonesia masih terancam dan belum sepenuhnya aman dari kejahatan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA). Berdasarkan Media Monitoring yang dilakukan ECPAT Indonesia selama tahun 2017, ditemukan 537 kasus ESKA dengan 404 anak menjadi korban dari kejahatan seksual ini di Indonesia.
Berdasarkan provinsi, Jawa Barat menjadi provinsi dengan tingkat kejahatan ESKA terbanyak sepanjang tahun 2017 dengan jumlah 85 kasus dengan 375 korban anak. Mayoritas kasus yang terjadi di Jawa Barat adalah kasus penjualan anak untuk tujuan seksual. Kasus penjualan anak untuk tujuan seksual ini sering ditemukan di lokasi Puncak, Ciawi, Bogor. Sedangkan, Provinsi Jawa Timur menempati posisi kedua dengan 68 kasus, dan Provinsi Riau di posisi ketiga dengan 45 kasus.
Berdasarkan pencatatan tahun 2017, diketahui pula bahwa 404 anak korban, mayoritas merupakan anak perempuan dengan jumlah 223 anak, disusul oleh anak laki-laki dengan jumlah 117 anak. Anak sebagai korban terbanyak pada kejahatan perdagangan anak untuk seksual dengan jumlah korban sebanyak 183 anak, selanjutnya kejahatan seksual perdagangan anak sebanyak 74 korban, lalu pornorafi anak sebanyak 50 korban, lalu porstitusi anak online sebanyak 44 korban, porstitusi anak sebanyak 40 korban, dan di urutan terakhir adalah kasus seks anak di tempat pariwisata dengan total korban 2 orang anak.
Selama tahun 2017, terdapat beberapa kasus yang cukup menghebohkan publik di tanah air. Dimulai dari ditemukannya 8 anak perempuan di Taman Sari yang tergolong masih menjadi pelajar sedang melakukan prostitusi di kawasan Taman Sari tersebut. Lalu kasus terbesar pada bulan Oktober, kasus penjualan 99 anak laki-laki di Cipayung Puncak Bogor untuk dijadikan budak seks sesama jenis. Ada juga pada bulan November di Wonogiri yang melibatkan guru SD menjadi tersangka, atas terungkapnya kasus pencabulan kepada 75 siswanya yang dilakukan dalam waktu 13 tahun.
Sedangkan, berdasarkan pelaku, 87 persen kejahatan ESKA dilakukan oleh orang dewasa, tujuh persen dilakukan oleh anak-anak, tiga persen dilakukan oleh dewasa dan anak-anak (secara bersamaan dalam satu waktu), dan 3 persen sisanya tidak teridentifikasi. Orang dewasa yang tertulis diatas bukan hanya orang dewasa yang sama sekali tidak dikenali korban, justu sebaliknya, banyak kasus yang melibatkan anak dengan orang tua nya sendiri. Misalnya kasus ayah yang berprofesi sebagai penjual telur dadar keliling menyetubuhi anaknya hingga 36 kali dalam tahun 2016. Kasus lain di Temanggung juga terungkap seorang Ayah yang seringkali pergi ke lokalisasi malah melakukan perbuatan cabul ke anaknya sendiri. Kasus terbaru yang terjadi di Glodok Jakarta Barat dimana sang ayah tega mencabuli 2 anak kandungnya dan dituntut hukuman penjara seumur hidup.
Berdasarkan situasi di atas, masih banyak kejahatan seksual terhadap anak yang secara tidak sadar bisa terjadi di lingkungan kita sendiri. Orang-orang yang sehari-hari menghabiskan waktu bersama kita pun belum tentu menjadi orang yang paling aman untuk tidak melakukan kejahatan seksual terhadap anak.
Dengan banyaknya kasus ini, sudah seharusnya Pemerintah mempertegas upaya pencegahan kejahatan seksual terhadap anak dan membuat suatu hukuman yang dapat membuat jera para pelaku kejahatan seksual terhadap anak tersebut. Masyarakat juga hendaknya terus membangun kesadaran akan bahaya kejahatan seksual terhadap anak dan tidak henti-hentinya membuat tindakan pencegahan agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan oleh orang-orang terdekat kita.
Penulis : Iman Rahdana (Internship ECPAT Indonesia)