PENELITIAN disrupting harm menemukan perilaku seksual anak di dunia online sungguh mengkhawatirkan, anak mencari, saling share dan saling komentar atas konten seksual. Penelitian yang dilakukan oleh ECPAT merupakan jaringan nasional dalam penghapusan eksploitasi seksual anak secara global. Penelitian ini melibatkan beberapa organisasi internasional yaitu ECPAT Internasional, INTERPOL, dan UNICEF Office of Research – Innocenti yang bekerja dalam kemitraan untuk merancang dan mengimplementasikan proyek penelitian multifaset tentang eksploitasi dan pelecehan seksual anak daring. Kegiatan ini juga difasilitasi oleh KPPPA dalam kegiatan konsultasi nasional sebagai fasilitasi kegiatan dan sebagai leading sector dalam issue perlindungan anak.
Tanggal 17 Maret penelitian didesiminasikan yang dihadirkan oleh berbagai stakeholder. Ada beberapa temuan penting yang menjadi acuan dalam kegiatan national consultation ini:
â— Dalam satu tahun terakhir, 2% anak-anak yang menggunakan internet berusia 12-17 tahun di Indonesia adalah korban kasus-kasus eksploitasi dan pelecehan seksual daring serius. Kasus-kasus ini termasuk diperas untuk terlibat dalam aktivitas seksual, orang lain membagikan gambar seksual mereka tanpa izin, atau dipaksa terlibat dalam aktivitas seksual dengan iming-iming uang atau hadiah. Dibandingkan skala populasi, ini berarti sekitar 500.000 anak-anak yang mengalami salah satu dari bahaya ini dalam rentang waktu hanya satu tahun.
â— Menurut survei rumah tangga, pelaku kekerasan seksual anak online yang paling sering ditemukan adalah orang yang sudah dikenal anak – sering kali teman dewasa, teman sebaya atau anggota keluarga. Kejahatan ini dapat terjadi baik saat anak menghabiskan waktu daring atau bertemu fisik tetapi melibatkan teknologi.
â— Anak-anak mengalami kekerasan seksual online terutama melalui layanan obrolan/pesan yang didominasi WhatsApp dan Facebook Messenger, dan melalui media sosial, terutama Facebook. Anak yang menjadi sasaran kejahatan terkait seksual anak online, anak cenderung menceritakan kepada orang-orang dalam jaringan interpersonal mereka, terutama teman dan saudara. Sangat sedikit anak yang beralih ke mekanisme pelaporan formal seperti hotline, saluran bantuan atau polisi.
Dari temuan-temuan diatas menunjukkan, meskipun undang-undang, kebijakan, dan standar yang ada di Indonesia mencakup ketentuan yang relevan dengan OCSEA, tindakan legislatif lebih lanjut diperlukan untuk mengriminalisasi semua tindakan terkait OCSEA.
Salah satu rekomendasi mengatasi masalah ini adalah bagaimana meningkatkan kesadaran tentang jalur komunikasi untuk melaporkan kasus yang dialami dan saluran bantuan yang ada. Hal ini berdasarkan temuan yang mengindikasikan bahwa kurangnya pengetahuan anak tentang mekanisme pelaporan menjadi salah satu penghalang dalam pengungkapan/pelaporan kasus yang dialami korban. Selain itu rendahnya pengetahuan pendamping tentang mekanisme pelaporan dan/keengganan untuk membuat laporan formal.
Ada beberapa masukan menarik yang perlu ditanggapi dan bahkan ditindak lanjuti setelah melihat isu dan temuan-temuan ini. Keterlibatan yang disebutkan dalam temuan-temuan yang disampaikan terbatas kepada pemerintahan, namun tidak melibatkan masyarakat. Menurut beberapa peserta dengan melibatkan level terkecil masyarakat seperti ibu-ibu PKK, kelompok-kelompok pengajian akan dapat menyisir lebih banyak target anak-anak dan pendamping-pendamping khususnya bagi mereka yang tidak memiliki akses terhadap informasi baik terhadap metode penyampaian juga mekanisme pelaporan ketika terjadi kasus OCSEA di wilayahnya. Selain itu keterlibatan forum anak, dan forum remaja di wilayah tersebut akan menyisir lebih banyak target untuk menyampaikan informasi-informasi seperti Kesehatan seksual, bahaya OCSEA, dan apa yang harus dilakukan ketika menemukan kasus-kasus seperti yang disebutkan diatas.
Namun ini tidak melepas kekuatan dan kapasitas pemerintah daerah dan kementerian pusat dalam memperkuat aspek-aspek ini. Pada tingkat kementerian, seperti KPAI dan KPPPA penguatan program-program yang sudah ada seperti PATBM perlu lebih diperkuat lagi. Selain itu, juga kementerian memiliki program-program yang berkaitan dengan isu yang disebutkan. Juga penguatan UPTD-UPTD terlebih pada kasus penanganan korban.
Keterlibatan aspek-aspek masyarakat ini diamini oleh peserta yang berasal dari CSO seperti Sejiwa dan NGO. Hal ini dikarenakan memang masih banyak orang tua yang tidak tahu bagaimana mengatasi rasa tidak nyaman saat menceritakan topik ini, terlebih untuk mendorong anak-anak mereka untuk menceritakan isu-isu ini. Kasus-kasus seperti masih banyak ditemukan di wilayah urban, jadi tidak bisa dibayangkan untuk wilayah rural. Selain itu penguatan capacity building antar agensi juga diperlukan walaupun lebih ke tupoksi masing-masing kementerian.
Pada akhirnya tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mendapatkan peta jalan rinci yang harus diambil oleh semua pemangku kepentingan terkai dengan leading sector ataupun Lembaga-lembaga terkait atau siapa pun yang dapat berperan aktif dalam melindungi anak-anak dari OCSEA: Pemerintah; penegak hukum; sector keadilan dan pelayanan sosial dan mereka yang bekerja di dalamnya; hingga lapisan terkecil masyarakat, guru dan pengasuh atau pendamping, juga pelibatan kelompok ibu PKK dan kelompok pengajian. Pada intinya semua Lembaga dan lapisan masyarakat yang dapat terlibat dalam melindungi anak dari OCSEA.