Press Rilis ECPAT Indonesia
Anak yang Dinikahkan Ditemukan Tewas
Lagi dan lagi perkawinan anak terjadi di Indonesia, meskipun pemerintah sudah merevisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dengan menaikkan usia perkawinan bagi anak perempuan, namun perkawinan anak masih saja terus terjadi di Indonesia. Kasus perkawinan anak terbaru yang terjadi adalah kasus perkawinan anak di Sumenep, Madura.
Namun ada hal yang lebih miris lagi dari kasus perkawinan anak yang terjadi di Sumenep, Madura, hanya berselang beberapa jam setelah anak tersebut dinikahkan, anak tersebut ditemukan tidak sadarkan diri dengan mulut berbusa dan akhirnya di vonis meninggal oleh dokter Puskesmas setempat. ECPAT Indonesia menduga anak tersebut melakukan bunuh diri karena frustasi setelah dipaksa nikah oleh orang tuanya, hal ini bisa dilihat dari beberapa pemberitaan yang diwartakan, bahwa anak korban ini pernah beberapa kali mencoba kabur dari rumah karena dipaksa menikah oleh orang tuanya dan hal ini dibenarkan oleh kepala dusun setempat.
Apa yang dilakukan oleh orang tua korban sudah tentu melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, khususnya Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang Perkawinan. Jelas tertulis di dalam pasal 26 Undang-Undang Perlindungan Anak, bahwa orang tua berkewajiban untuk mencegah terjadinya perkawinan anak. Selain itu orang tua korban juga melanggar Undang-Undang Perkawinan yang mana menikahkan anaknya yang masih berusia 16 tahun. Hukum internasional juga melarang pernikahan anak-anak, hal ini jelas tercantum dalam Konvensi Hak Anak dan Protokol Opsional Konvensi Hak Anak Mengenai Penjualan anak, Prostitusi anak dan Pornografi anak. Pernikahan anak digolongkan sebagai salah satu bentuk kekerasan pada anak dan dalam beberapa kasus digolongkan sebagai eksploitasi seksual anak. Oleh karena itu setiap negara yg meratifikasi kedua hukum internasional tersebut seharusnya melakukan amandement atas hukum pidana nasional dan memastikan setiap orang dilarang menikahi anak-anak dan diberikan ancaman pidana bagi para pelakunya.
ECPAT Indonesia merekomendasikan harus ada penyelesaian jangka pendek dan jangka menengah dalam menghentikan kasus perkawinan anak yang terjadi diwilayah Indonesia :
- Dalam penyelesaian jangka pendek, yang harus dilakukan adalah semua unsur yang terlibat seperti orang tua, Kepala Dusun, Kepolisian setempat dan juga Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak harus segera turun tangan dalam menyelesaikan kasus ini.
- Penyelesaian jangka menengahnya adalah membuat Peraturan Bupati (PERBUP) yang ampuh untuk mencegah terjadinya perkawinan anak di Kabupaten Sumenep, Madura dan juga Peraturan Gubernur (PERGUB) Jawa Timur yang mengatur tentang Pencegahan Perkawinan Anak di provinsi Jawa Timur.
- Selain itu Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak juga harus mempunyai inisiatif untuk mensosialisasikan perubahan undang-undang perkawinan yang baru kepada masyrakat di Indonesia agar masyarakat tahun bahwa menikahkan anak-anak adalah tindakan yang melanggar hukum.
- Medesak kepolisian khususnya Polres Sumenep dan Polda Jatim untuk menyelidiki kasus kematian anak ini agar diketahui penyebab pasti dari kematian korban tersebut dan memberikan hukuman bagi para pelaku perkawinan anak.
- Mendorong para tokoh agama yang ada di Jawa Timur untuk membantu memberikan pemahaman terhadap masyrakat untuk tidak menikahkan anak-anak mereka secara siri maupun legal ketika usianya belum 19 Tahun.
Jakarta, 29 Mei 2021
ECPAT Indonesia
Rio Hendra, S.H. M.H (0813-8868-5245)
Koordinator Divisi Hukum