Oleh Aliansi Down to Zero Indonesia
COVID-19, sejak awal kemunculannya pada akhir tahun 2019 telah menyebar luas dan menimbulkan banyak korban di berbagai belahan dunia. Di Indonesia sendiri, virus ini mulai terdeteksi pada awal tahun 2020 dan terus meluas ke seluruh penjuru negeri hingga saat ini. Pandemi COVID-19 kemudian perlahan-lahan menggeser tatanan kehidupan masyarakat konvensional ke arah digitalisasi. Kebijakan untuk menerapkan pembatasan fisik yang dikeluarkan oleh pemerintah membuat fungsi teknologi menjadi sangat penting untuk menjembatani aktivitas dan interaksi sosial masyarakat selama pandemi.
Pandemi COVID-19 tidak hanya berdampak pada kehidupan orang dewasa, tetapi juga anak-anak. Mengikuti kebijakan pembatasan fisik yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Nadiem Anwar Makarim, mengeluarkan Surat Edaran (selanjutnya: SE) Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan Dalam Masa Darurat Penyebaran Coronavirus Disease (COVID-19). Dalam SE tersebut, tertuang aturan bagi Gubernur dan Walikota atau Bupati di Seluruh Indonesia untuk menerapkan proses pembelajaran jarak jauh di wilayahnya masing-masing. Aturan pembatasan fisik dan pembelajaran jarak jauh itu menyebabkan anak lebih banyak menghabiskan waktunya secara daring.
Tingginya intensitas anak menggunakan internet selama masa pandemi membuat anak menjadi lebih rentan terhadap bahaya yang terjadi di ranah daring, salah satunya eksploitasi seksual. Berdasarkan laporan kasus Eksploitasi Seksual Anak (ESA) online yang diterima oleh National Center for Missing and Exploited Children (NCMEC), ESA online mengalami peningkatan selama pandemi COVID-19. Pada April 2020 terjadi peningkatan sebanyak dua juta laporan dalam satu bulan dibanding data bulan Maret 2020 (forbes, 2020).
Menyusul data laporan tersebut, ECPAT Indonesia kemudian berinisiatif untuk membuat Temuan Awal yang berjudul ‘kerentanan anak dari eksploitasi seksual online di masa pandemi Covid-19 dengan melakukan riset kuantitatif yang melibatkan 1.203 responden anak dari 13 provinsi di Indonesia. Dari survei tersebut, ditemukan bahwa terdapat 287 responden yang mengalami pengalaman buruk selama berinternet di masa Pandemi. Bentuk-bentuk pengalaman buruk tersebut antara lain dikirimi tulisan atau pesan teks yang tidak sopan dan senonoh, dikirimi gambar atau video yang membuat tidak nyaman serta dikirimi gambar atau video yang menampilkan pornografi.
Melanjutkan hasil temuan awal, ECPAT Indonesia dan Aliansi Down to Zero melakukan inisiatif survei lanjutan untuk melihat kerentanan anak dari Eksploitasi Seksual selama pandemi COVID-19 di wilayah kerja Down to Zero, yaitu di Batam, Jakarta, Surabaya, dan Lombok; dengan menerapkan Kebijakan Perlindungan Anak untuk memastikan bahwa anak-anak (dan orang tua mereka) betul-betul bersedia terlibat di survei ini. Down to Zero merupakan sebuah gerakan global dalam menghapus eksploitasi seksual anak dengan melakukan intervensi holistik kepada beragam aktor yaitu anak dan anak muda, komunitas/keluarga, pemerintah, aparat penegak hukum dan pihak swasta. Penelitian yang dilakukan dari tanggal 12 sampai dengan 24 Juli 2020 ini melibatkan total responden sebesar 195 anak.
Dari penelitian tersebut diketahui bahwa selama pandemi COVID-19, anak mengalami beragam kerentanan ketika melakukan aktivitas secara online. Ditemukan bahwa 3 dari 10 anak mengalami kekerasan seperti: 1) Dikirimi tulisan/pesan teks yang menurut dirinya/temannya tidak senonoh, 2) Dikirimi gambar/video porno secara langsung atau melalui link/tautan, dan 3) Dikirimi gambar/video yang membuat dirinya/temannya tidak nyaman. Tiga kerentanan tersebut paling banyak dialami oleh responden anak perempuan yang berada di wilayah kerja DKI Jakarta dan Lombok, sedangkan Surabaya mengalami kerentanan yang paling rendah sebab 67 persen responden mengatakan mendapatkan pengawasan saat menggunakan internet serta penggunaan waktu internet yang cenderung rendah, 61 persen menggunakan internet selama 1-2 jam. Meskipun keseluruhan responden di Lombok merupakan penerima manfaat langsung program Down to Zero, anak-anak masih mengalami risiko kerentanan dari kekerasan seksual anak online.
Di samping itu, terlepas responden anak perempuan yang mengalami kerentanan yang lebih tinggi, 48 persen responden anak perempuan cenderung memilih untuk bercerita ketika mengalami kekerasan selama beraktivitas online. Teman sebaya menjadi tempat cerita yang lebih sering bagi responden anak perempuan, sedangkan responden anak laki-laki lebih banyak memilih bercerita kepada orangtua. Di sini penting menjadi perhatian bahwa baik teman sebaya maupun orang tua belum tentu memiliki pengetahuan yang cukup dalam merespon cerita anak yang mengalami kerentanan kekerasan. Beberapa rekomendasi Aliansi Down to Zero berdasarkan hasil penelitian ini::
- Penguatan kapasitas kelompok masyarakat/aktivis perlindungan anak berbasis masyarakat, termasuk kelompok anak dan anak muda tentang literasi digital dan permasalahan kekerasan dan eksploitasi seksual anak di ranah daring,
- Melengkapi pedoman penyelenggaraan belajar dari rumah dalam masa darurat penyebaran COVID-19 dengan materi terkait pencegahan kekerasan dan eksploitasi seksual anak di ranah daring,
- Pelatihan masif kepada masyarakat, kaum muda dan anak tentang etika/panduan bermedia sosial
- Mendorong pemerintah daerah di wilayah kerja Down to Zero melakukan studi mendalam (lanjutan) atas hasil riset ini.
____
* Enam strategi intervensi yang digunakan dalam Down to Zero, yakni: 1) penyediaan layanan, 2) peningkatan kesadaran, 3) peningkatan kapasitas, 4) lobi dan advokasi, 5) riset, dan 6) berjejaring