Jakarta, 22 Oktober 2021 – ECPAT Indonesia bekerja sama dengan UNICEF Indonesia, Business Children Right Working Group (BCRWG), Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI), dan The Archipelago International, pada 22 Oktober 2021 menyelenggarakan kegiatan Talkshow : Menata Pariwisata Berkelanjutan Ramah Anak dalam Agenda Pemulihan Sektor Travel & Tourism Pasca Pandemi Covid-19. Tujuan penyelenggaraan kegiatan ini adalah sebagai refleksi upaya perlindungan anak di wilayah pariwisata yang selama ini telah dilakukan, serta agenda kedepan yang ingin dicapai oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia.
Kegiatan talkshow ini mengusung tajuk “Pariwisata untuk Pertumbuhan yang iInklusif”, sejalan dengan agenda global (SDGs 2030), yaitu mewujudkan dunia yang lebih aman dan inklusif bagi anak dan orang muda, terutama di wilayah pariwisata dalam momentum peringatan Hari Pariwisata Dunia yang jatuh pada 27 September lalu.
Pemerintah Indonesia melihat industri pariwisata sebagai bidang usaha pada sektor utama, dimana saat sebelum pandemi Covid 19 devisa negara yang diperoleh dari sektor pariwisata menduduki peringkat kedua setelah industri kelapa sawit. Di tahun 2016 sektor pariwisata berhasil mengumpulkan jumlah devisa sebesar US$ 13,568 miliar, di tahun 2017 sekitar US$ 16,8 miliar kemudian di tahun 2018 menjadi US$ 20 miliar,[1] dan di sepanjang tahun 2019 sedikit menurun menjadi US$ 19,7 miliar. Namun pemerintah menyadari bisnis pariwisata juga memiliki hambatan dan tantangan bagi upaya pemenuhan dan perlindungan hak anak. Ditemukan fakta tentang munculnya dampak negatif bagi anak-anak khususnya yang berada di destinasi wisata.
Berdasarkan hasil penelitian ECPAT Indonesia tahun 2015 di tiga lokasi wisata yaitu Lombok (NTB), Kefamenanu (NTT) dan Jakarta Barat (DKI Jakarta) dan pemetaan potensi ESA di wilayah pariwisata yang dilakukan oleh ECPAT Indonesia dan Kemen PPPA tahun 2016-2017 di sepuluh (10) destinasi wisata yaitu Pulau Seribu (DKI Jakarta), Karang Asem (Bali), Gunung Kidul (Yogyakarta), Garut (Jawa Barat), Bukit Tinggi (Sumatera Barat), Toba Samosir dan Teluk Dalam (Sumatera Utara) menunjukkan adanya praktek kekerasan dan eksploitasi seksual yang dilakukan oleh sejumlah wisatawan terhadap anak-anak. Hal ini semakin menegaskan bahwa perlindungan anak dari ESA di wilayah pariwisata harus diberikan perhatian yang serius. Sementara itu Langkah-langkah untuk mencegah dan menanggulanginya masih sangat terbatas.
Apalagi saat ini perkembangan dunia tehnologi telah mampu meretas batas dan memudahkan mobilisasi antar individu antar wilayah di Indonesia dan juga antar negara diseluruh dunia untuk saling berkomunikasi dan berhubungan. Hal ini menambah kerentanan anak mengalami eksploitasi seksual, karena pada beberapa kasus ditemukan bahwa predator seksual telah beradaptasi menggunakan tehnologi untuk mendapatkan korbannya. Hasil pemetaan cepat terhadap kasus pornografi anak yang dilakukan ECPAT Indonesia tahun 2021 menemukan adanya kasus pornografi anak di Kota Bandung yang dalam proses produksinya melibatkan bisnis pariwisata yaitu hotel. Pemanfaatan perkembangan tehnologi pada kasus eksploitasi seksual anak ini telah merubah pola (modus) para predator seksual anak dalam proses transaksinya, pada kasus pornografi anak di Kota Bandung diketahui predator seksual anak berasal dari 5 negara (Kanada, Polandia, Rusia, Spanyol dan Belanda) telah menggunakan financial technology pada proses transaksi keuangannya yaitu bit coin.
Kerentanan inilah yang membuat ECPAT Indonesia bekerjasama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) untuk membangun sistem pencegahan eksploitasi seksual anak di daerah wisata berbasis Desa/Komunitas. Tujuannya adalah mencegah dan meminimalisir kerentanan anak yang mengalami kasus-kasus eksploitasi seksual di daerah wisata dengan membangun kesadaran kolektif komunitas dimana anak tinggal, tumbuh, berkembang dan bersosialisasi dengan melakukan upaya pencegahan dan membuat sistem penanganan kasus (mitigasi kasus) untuk meminimalisir trauma korban melalui penanganan cepat dari komunitas yang berada di sekitar korban.
Program ini telah dirancang sejak tahun 2018 diantaranya menghasilkan buku “Panduan Pembentukan Pariwisata Perdesaan Ramah Anak Bebas dari Kekerasan dan Eksploitasi” dan modul pelatihan untuk trainer terkait Pembentukan Pariwisata Perdesaan Ramah Anak Bebas dari Kekerasan dan Eksploitasi. Di Tahun 2021 ECPAT Indonesia bersama KemenPPPA telah melatih 65 Fasilitator dari Provinsi Sumatera Utara, Bangka Belitung, Jawa tengah, Jawa Timur, Bali, NTB, Kalimantan Timur, Sulawesi Tenggara dan NTT. Bahkan pada bulan September 2021 telah membentuk 2 Desa Wisata Pedesaan Ramah Anak Bebas dari Kekerasan dan Eksploitasi yaitu Desa Kuta Mandalika di Kabupaten Lombok Tengah dan Kampung Derawan di Kabupaten Berau. Hingga saat ini KemenPPPA bersama Bappenas dan ECPAT Indonesia sedang berupaya memasukkan program perlindungan anak dari eksploitasi seksual di daerah wisata kedalam Rencana Aksi Nasional Perlindungan Anak.
Koordinator Nasional ECPAT Indonesia, Dr. Ahmad Sofian menyatakan bahwa diperlukan langkah konkrit dari berbagai stakeholder pariwisata dalam menanggulangi bentuk-bentuk kasus eksploitasi seksual anak di wilayah pariwisata.
“Perlu ada langkah kongkrit dari berbagai stakeholder pariwisata dalam mencegah dan menanggulangi bentuk bentuk dan praktek eksploitasi seksual anak yang masih berlangsung di beberapa destinasi wisata di Indonesia. Langkah kongkrit juga sebaiknya juga melibatkan sektor bisnis, LSM dan pemerintah daerah sehingga kolaborasi ini akan mempu menanggulangi masalah ini menjadi lebih cepat dan efektif”, ujarnya.
Momentum peringatan Hari Pariwisata Dunia tahun 2021 ini seharusnya dapat menjadi titik balik dunia pariwisata Indonesia yang terdampak Covid-19 untuk bangkit kembali. Kolaborasi dan kerjasama lintas sektoral, mulai dari pemerintah, masyarakat sipil, privat sektor dan lembaga pegiat isu anak sangat penting dilakukan dalam upaya ini.
ECPAT Indonesia sebagai perwakilan The Code di Indonesia dan melalui program Down To Zero mengajak para aktor industri perjalanan dan pariwisata Indonesia untuk bersama mengoptimalkan upaya perlindungan anak dalam pemulihan dan persiapan beroperasinya kembali destinasi pariwisata Indonesia pasca pandemi Covid-19. Namun tidak melupakan Hak dan Perlindungan Anak didalam pembangunan pariwisata keberlanjutan.
Sebagai penutup kegiatan, Ibu Putu Elvina selaku perwakilan BCRWG dan KPAI menyatakan bahwa upaya menata pariwisata yang ramah anak merupakan partisipasi yang konsisten oleh para pelaku usaha. Sesuai dengan undang-undang maka pelaku usaha harus memahami hak-hak anak dan perspektif perlindungan untuk menciptakan pariwisata berkelanjutan ramah anak.
Contact person:
Esti Damayanti – ECPAT Indonesia
+62 856-5579-6917 / dama.esti@gmail.com
Sekretariat ECPAT Indonesia
+6221-2503-4840 / secretariat@ecpatindonesia.org
[1] Pariwisata Jadi Andalan Penyumbang Devisa US$ 20 Miliar, https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-3844660/pariwisata-jadi-andalan-penyumbang-devisa-us-20-miliar