Polda Metro Jaya menyelenggarakan lokakarya tentang “Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Terhadap Anak” tanggal 19 Juni 2014 lalu, diadakan di Ditreskrimum Polda Metro Jaya. Dalam lokakarya ini ada empat pembicara yang dihadirkan yaitu Pak Heru dari Direskrim Polda Metro Jaya, Prof. Adrianus Meliala, Ph.D (guru besar Kriminologi FISIP-UI dan Komisioner KOMPOLNAS), Nadya Pramesrani, M.PSI., Psi (Psikolog dari Lembaga Konseling Bingkai), dan Ahmad Sofian, SH, MA (ECPAT INDONESIA). Peserta lokakarya berjumlah sekitar 100 orang dan sebagian besar berasal dari perwira di lingkungan Polda Metro Jaya, lembaga-lembaga Negara dan lembaga non-pemerintah.
Lokakarya ini memberikan pemaparan tentang beberapa aspek masalah, penanganan dan solusi dalam mengatasi masalah kekerasan terhadap anak di Jakarta yang belakangan ini makin marak terjadi. Polda Metro Jaya memberikan beberapa ulasan tentang proses penyidikan kasus-kasus kekerasan seksual anak yang ditangani. Satu kasus besar yang mereka tangani saat ini adalah kekerasan seksual anak yang terjadi di Jakarta International Schoool (JIS). Kasus ini sangat komplek karena melibatkan warga asing, dan berlangsung di sekolah yang bertarap internasional, namun Polda pun mengakui bahwa kasus ini menjadi perhatian media, karena kekerasan ini berlangsung di sebuah sekolah elit yang bertaraf internasional, dimana orang tua siswa harus membayar biaya sekolah sebesar 20 juta per bulan per anak. Karena besarnya perhatian media, terkadang membuat Penyidik Polda menjadi sulit bergerak, karena terkontaminasi dengan opini publik yang dihembuskan oleh kepentingan media.
Prof. Adrianus Meliala menyampaikan 10 tips menangani kasus kekerasan terhadap anak. 10 tips tersebut adalah : (1) segera mengadikan memar, jejas, luka/lecet/bakar/tusuk/sobke pada tubuh anak. (2) Perhatikan adanya tic, stupor, hysteria atau perilaku spontan ekstrim lainnya pada anak (3) Perhatikan kejanggalan terkait peran, penampilan peran dan pemenuhan peran terhadap anak. (4) Meng-establish “mental map” anak guna menemukan locus dan actus kekerasan terhada anak. (5) Meng-establish siapa yang paling berhak berkomunikasi dengan anak, untuk anak dan atas nama anak. (6) Anak bukan penutur yang baik menurut hukum. (7) Penyidikan terhadap kasus dengan indikasi kekerasan terhadap anak memiliki benchmark, parameter dan lessons-learnt. (8) Anak rentan selaku penyaksi mata, apalagi ketika dirinya juga adalah korban. (9) Anggota perlu kepekaan menghadapi anak dan perlu latihan menghadapi kasus kekerasan terhadap anak. (10) Hanya bila telah selesai sidik di lingkungan domestic, bisa lanjut lakukan lidik terkait jaringan/kelompok/sindikat pelaku kekerasan terhadap anak.
Dua pembicara lain yaitu Nadya Pramesrani dan Ahmad Sofian menyoroti masalah kekerasan terhadap anak dari dua aspek yang berbeda, yaitu dari aspek psikologis dan dari aspek hukum dan HAM. Secara psikologis anak-anak rentan menjadi korban kekerasan dan pelaku kekerasan. Dari aspek hukum dan HAM ternyata hukum kita belum maksimal memberikan perlindungan terhadap anak-anak, sehingga acap kali menjadi korban kekerasan seksual. Hukum nasional kita masih memberikan ancaman yang rendah pada pelaku, proses pembuktian terhadap pelaku kekerasan yang belum menggunakan pembuktian terbalik, anak-anak juga tidak mendapatkan restitusi dan kompensasi dari pelaku maupun negara atas dampak kekerasan seksual yang dialaminya. Karena itu perlu ada terobosan hukum yang berpihak pada anak, dan memudahkan proses penyidikan dan pembuktian kasus-kasus ini di pengadilan, memberikan hak yang adil pada korban, tidak sekedar melindungi hak-hak pelaku kejahatan seksual anak.